Corona Virus Lama yang Bangkit Kembali

SHARE:  

Humas Unimal
Della Vega Nisha Ayuna, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh

Oleh: Della Vega Nisha Ayuna

Pada akhir abad ke-20 seluruh masyarakat dunia terhentak dan mengalami kecemasan yang luar biasa karena hadirnya sang pembunuh yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh manusia. Pembunuh tersebut bagaikan makhluk halus, yang siap merenggut nyawa siapa saja. Makhluk asing tersebut yang kemudian dikenal sebagai penyebab penyakit AIDS (Aquired Immunodefisiensi Syndrome). Selanjutnya muncul berbagai penyakit seperti, penyakit saluran pernafasan akut SARS (Severe Acute Respiratory syndrome) dan di awal tahun 2020 dunia digemparkan dengan merebaknya virus baru yaitu Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2(SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Covid-19 (Corona virus disease 2019).

Virus berasal dari bahasa Yunani yaitu venom yang berarti racun. Ukuran virus lebih kecil dibandingkan dengan sel bakteri. Ukurannya berkisar dari 0,02 mikrometer sampai 0,3 mikrometer (1 μm = 1/1000 mm). Unit pengukuran virus biasanya dinyatakan dalam nanometer (nm), 1 nm adalah 1/1000 mikrometer dan seperjuta milimeter. Virus cacar merupakan salah satu virus yang ukurannya terbesar yaitu berdiameter 200 nm, dan virus polio merupakan virus terkecil yang hanya berukuran 28 nm.

Saat ini dunia tengah dilanda oleh wabah yang hingga kini terus merebak ke berbagai negara dan merengut banyak korban jiwa. Penyebaran wabah ini, diduga bermula dari serangkaian kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya, di kawasan Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019.

Sejumlah pakar berpendapat bahwa wabah itu disebabkan karena virus korona jenis baru. Kata "korona " berasal dari bahasa latin yang artinya crown atau mahkota. Ini sesuai dengan bentuk virus korona itu sendiri yang kalau dilihat dengan mikroskop nampak seperti mahkota. Bentuk mahkota ini ditandai oleh adanya "Protein S" yang berupa sepatu, sehingga dinamakan spike protein, yang tersebar disekeliling permukaan virus. "Protein S" inilah yang berperan penting dalam proses infeksi virus terhadap manusia.

Virus ini memiliki RNA positif sebagai genomnya, dan biasanya sering disebut virus RNA. Replikasi terjadi saat virus RNA bermutasi yang kecepatannya sekitar 1 juta kali lebih cepat dari pada virus DNA. Virus DNA mempunyai kecepatan mutasi 10-8 sampai 10-11 nukleotida setiap kali proses replikasi, sedangkan virus RNA berkecapatan 10-3 sampai 10-4. Karena itu, tidak bisa dimungkiri bahwa virus penyebab COVID-19 adalah virus korona yang sudah bermutasi.

Menurut sejarahnya, virus korona pertama kali diidentifikasi sebagai penyebab flu biasa pada tahun 1960. Sampai tahun 2002, virus itu belum dianggap fatal. Tetapi, pasca adanya Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-Cov) di China, para pakar mulai berfokus mencari penyebab dan menemukan hasil dimana wabah ini diakibatkan oleh bentuk baru korona.

Kemudian, pada tahun 2012 juga terjadi wabah yang mirip yakni Middle East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) di Timur Tengah. Dari kedua peristiwa itu, diketahui bahwa korona bukan virus yang stabil serta mampu berdaptasi menjadi lebih ganas, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Sejak itulah, penelitian terhadap korona semakin berkembang

Munculnya Jenis Baru Korona: SARS-CoV-2 (Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2)

Mengamati penyebaran virus yang kembali terjadi, beberapa ahli berpendapat bahwa korona jenis baru atau Covid-19 yang sekarang sedang berkembang, bukan merupakan sebuah hal baru, melainkan hasil dari mutasi. Virus itu serupa dengan korona yang menjadi penyebab SARS-Cov dan MERS-Cov. Virus korona sudah ditemukan sejak lama, dan telah menginfeksi beberapa jenis hewan maupun manusia. Sebagai contoh, pada unggas, kalkun, babi, tikus, kucing, dan anjing.

Virus korona terbagi menjadi empat jenis genus, yakni alpha coronavirusbeta corona virus, gamma coronavirus, serta delta coronavirus. Namun, virus korona yang seringkali menyerang manusia berasal dari genus alpha dan genus beta (paling berbahaya). Sementara virus korona yang menyerang hewan adalah genus delta dan genus gamma.

Sejak tahun 1960 hingga tahun 2019 terdapat 7 jenis virus korona. Ketujuh jenis virus tersebut diantaranya HCoV-229E (alpha coronavirus), HCoV-NL63 (alpha coronavirus), HCoV-OC43 (beta coronavirus), serta HCoV-HKU1 (beta coronavirus). Tiga lainnya merupakan genus beta yang bisa menginfeksi hewan sekaligus manusia pasca berevolusi dalam bentuk baru, yakni SARS-Cov, MERS-Cov, dan SARS-CoV-2.

Ketiga virus korona jenis baru itu, memiliki persamaan dari segi struktur maupun morfologi. Tetapi berbeda secara genetik dan host. Virus ini dikategorikan sebagai zoonosis karena mampu menginfeksi manusia. Kalau dulu, virus korona ini tergolong host-spesific. Artinya, hanya bisa menginfeksi antar binatang atau antar manusia saja. Tetapi dengan adanya proses mutasi, memungkinkan untuk menginfeksi makhluk hidup lain. Selain itu, korona juga bisa mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan, host, waktu, serta perubahan sifat RNA-nya.

Infeksi SARS-CoV-2 memiliki tingkat kematian lebih rendah (2%) dari pada SARS (10%) dan MERS (34%) , dan infeksi SARS-Cov-2 lebih ”menular” daripada SARS dan MERS, akan tetapi SARS-Cov-2 menggunakan reseptor yang sama dengan SARS, yakni reseptor ACE2.

Penyebaran SARS-CoV-2

Menurut sejumlah pemberitaan yang beredar, penyebaran SARS-Cov-2, diduga memiliki keterkaitan dengan aktivitas sejumlah masyarakat dalam mengonsumsi satwa liar seperti tikus, kelelawar, curut, karnivora, dan primata. Meskipun masih terdapat polemik mengenai perihal penyebab pasti dari SARS-Cov-2, baik pakar maupun otoritas kesehatan terus bergerak untuk melakukan penelitian lanjutan maupun penanganan terkait virus ini.  

Para ahli berpendapat, berbeda dengan virus korona yang beredar sebelumnya, dimana SARS-Cov berasal dari kelelawar, sementara MERS-Cov ditularkan oleh unta. Sejauh ini, diperoleh kesimpulan apabila SARS-CoV-2, mengalami mutasi pada kelelawar, lalu berlanjut ke ular, dan berakhir masuk ke manusia. Karena itu, masyarakat disarankan untuk menghindari konsumsi satwa liar.

Selain itu, kelelawar juga dapat membawa virus dari beberapa jenis, seperti halnya lyssaviruscoronavirusadenovirus, dan paramyxovirus, yang ditularkan melalui gigitan atau air liur. Jika hal itu terjadi, maka akan berbahaya bagi manusia.

Tidak hanya menyebar melalui satwa liar, SARS-CoV-2 juga menginfeksi antar manusia melalui batuk maupun bersin. Oleh karena itu, hendaknya masyarakat ikut mencegah penyebaran virus dengan menjaga imunitas, menjaga lingkungan, menggunakan masker saat berada di ruang terbuka, mengolah makanan dengan tepat, dan segera ke dokter apabila mengalami gejala seperti sakit tenggorokan, flu, batuk, demam, atau sesak nafas.

Masyarakat harus waspada karena gejala SARS-CoV-2 dapat muncul hanya dalam satu atau selama empat belas hari setelah terpapar virus. Hal ini didasarkan pada apa yang telah diamati pada penyebaran virus sebelumnya sebagai masa inkubasi MERS-Cov. Hingga saat ini masih belum ditemukan treatment yang spesifik selain isolasi.

Della Vega Nisha Ayuna adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh yang sedang mengikuti KKN di bawah bimbingan Teuku Alfiady MSP

Artikel ini telah terbit di Harian Rakyat Aceh Edisi hari Rabu, 13 Mei 2020


Kirim Komentar