Oleh Cut Sari Ramadhani
KESEJAHTERAAN merupakan salah satu hal yang diinginkan oleh khalayak ramai tentunya. Namun, seperti yang kita tahu bahwa realita tak seindah ekspektasi, kesejahteraan di Indonesia khususnya di Aceh mulai memudar. Berbicara kesejahteraan, ini bukan hanya milik individu namun juga milik semua orang. Jika setiap individu bahagia maka semua orang bahagia, tetapi kekerasan yang terjadi menjadi penghalang kebahagiaan ini.
Menurut Abdul Munir Mulkan, kekerasan adalah tindakan fisik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melukai, merusak atau menghancurkan orang lain atau harta benda dan segala fasilitas kehidupan yang merupakan bagian dari orang lain tersebut (coursehero.com). Konflik yang sudah diwujudkan dalam bentuk fisik bisa juga disebut kekerasan.
Fisik dan psikis
Kekerasan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, tidak hanya dalam bentuk fisik, dalam bentuk psikis dan seksual pun terjadi. Tidak pandang bulu dan bisa menargetkan siapa saja, dari yang muda sampai lansia (lanjut usia), kekerasan terjadi dominan pada perempuan dan anak, namun tak terelakkan bagi laki-laki.
Salah satu bentuk ketidakadilan dalam keluarga adalah terjadinya kekerasan terhadap anggota keluarga oleh anggota keluarganya sendiri. Terkadang perempuan dianggap lemah oleh laki-laki, ini merupakan salah satu awal mula terjadinya kekerasan, karena laki-laki menganggap rendah perempuan.
Menurut data pada laman dinaspppa.acehprov.go.id kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2016 sampai 2018, data keseluruhan berdasarkan kabupaten/kota berturut-turut sebanyak 711, 681, dan 640. Lebih mengagetkannya lagi, bentuk kekerasan yang paling dominan dicapai pada tahun 2017 adalah dalam bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sampai ekploitasi seksual dan sebagainya.
Di Provinsi Aceh, pada tahun 2019 terdapat 640 kasus, 2020 triwulan I tercatat 146 kasus, dan 2020 triwulan II mendapat 238 kasus kekerasan terhadap perempuan kabupaten/kota. Walaupun kasus menurun, ada kemungkinan bentuk kekerasan meningkat. Mayoritas warga berpikir bahwa ini tidak harus dilaporkan karena problem keluarga merupakan aib yang harus ditutupi. Justru inilah hal yang membuat sang pelaku akan semena-mena terhadap korban.
Fenomena gunung es
Dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan di Aceh, perlindungan pada perempuan terkesan tidak diprioritaskan oleh masyarakat maupun pemerintahnya sendiri.
"Fenomena gunung es", itulah yang dikatakan oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada Webinar Internasional, Senin, 20 Juli 2020. Maksud dari fenomena gunung es adalah, kasus yang terlihat berbanding terbalik dengan yang tidak terlihat atau realitanya tak terlihat di permukaan. “Fenomena ini ibarat puncak gunung es, di mana data yang ada, hanya tampilan permukaan saja. Padahal di bagian dasarnya jauh lebih padat lagi.
Fenomena gunung es ini akan terus terjadi manakala kita semua, baik itu pihak keluarga, lingkungan sosial dan masyarakat, abai dan tidak berbuat apa-apa,” (humas.acehprov.go.id). Beberapa kekerasan yang paling dominan dialami oleh perempuan dalam keluarga seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kekerasan psikis, penelantaran, dan kekerasan fisik.
KDRT termasuk pemicu kenaikan perceraian, Panitera Muda Mahkamah Syariah Aceh Abdul Latif, menyebutkan bahwa sejak tahun 2020 (Januari-Mei) kasus perceraian di Aceh tercatat 2.397, dengan kategori cerai talak 660 perkara dan cerai gugat 1.737 perkara. Dari semua 23 kabupaten/kota di Aceh, angka perceraian yang tertinggi dicapai oleh Aceh Utara disusul Bireun, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang sebanyak 280, 200, 167, dan 152 perkara.
Tidak hanya perempuan anak-anak pun menjadi korban, bahkan kekerasan pada anak sudah melonjak dari lima tahun yang lalu. Di Provinsi Aceh pada tahun 2018 sampai 2020 triwulan I dan II, tercatat sebanyak 736, 518, 170 dan 269 kasus. Lebih dari 10 bentuk kekerasan pada tahun 2020 triwulan II (Januari-Juni) yang terjadi, dan paling dominan adalah pelecehan seksual sebanyak 93 kasus, di ikuti kekerasan psikis sebanyak 80 kasus dengan total kasus sebanyak 363 kasus.
Kekerasan terhadap anak yang paling sering kita temui di kalangan anak-anak itu sendiri adalah bully. Bully atau perundungan ini bisa terjadi secara fisik maupun verbal. Di sekolah, anak yang mendapat perlakukan seperti ini oleh temannya sendiri pasti tertekan, yang sebenarnya sekolah adalah tempat menuntut ilmu bukan untuk mendapat perlakuan yang tidak pantas. Terkadang guru pun tidak dihormati oleh si pelaku.
Secara umum ada lima dampak kekerasan yang dialami korban seperti mengalami trauma, depresi, sulit mempercayai orang lain, kepercayaan diri berkurang hingga bunuh diri dan menyakiti diri sendiri. Selain kekerasan fisik, kekerasan secara emosional/psikis juga membekas dalam jangka panjang. Maka dari itu diperlukan tindakan preventif terhadap kekerasan seperti, meningkatkan komunikasi yang baik, bantu anak melindungi diri dan jangan diabaikan, pembekalan ilmu bela diri dan ilmu pengetahuan lainnya, pemberian konseling, dan sebagainya.
Untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kekerasan perlu tindakan-tindakan yang membuahkan hasil. Sebagai remaja yang termasuk bagian masyarakat, diperlukan rasa kepedulian yang tinggi jika mengetahui temannya menjadi korban kekerasan. Kita sebagai manusia harus saling membantu satu sama lain, dan itu semua bergantung pada diri kita sendiri, mau atau tidak mau melakukannya. Rasa empati, toleransi, tidak menyakiti satu sama lain, bertindak seadil-adilnya itu semua diperlukan.[]
Cut Sari Ramadhani, siswi SMAS Sukma Bangsa Pidie. Pemenang kedua kategori siswa Lomba Menulis Artikel "Harapan Perubahan Aceh" yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, dan SKK Migas.