Oleh: Fitri Hardiyanti
ACEH merupakah wilayah paling ujung di Pulau Sumatera dan Indonesia yang memiliki keistimewaan selain DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Papua yaitu otonomi khusus. Dalam konteks ini, ada dua atribut yang dimiliki Aceh dalam otonomi khusus, di antaranya UU Nomor Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kedua atribut tersebut diberikan atas dasar pertimbangan bahwa sistem pemerintahan NKRI mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus yang telah diatur dalam UU. Selain itu, Aceh memiliki karakter khas dalam pertahanan dan perjuangan yang tinggi yang berasal pada pandangan hidup, karakter, dan budaya Islam yang kuat sehingga menjadi modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan NKRI dan berbagai macam pertimbangan lainnya.
Maka dari itu, pemerintah pusat telah memberikan dana yang cukup besar kepada pemerintah Aceh dalam menjalankan pemerintahannya sebagai bentuk rekonsiliasi yang bijaksana dan bermartabat demi pembangunan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan agama.
Pengakuan tersebut telah tercatat setidaknya pada tiga peranturan seperti keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/1959 menyangkut Keistimewaan Aceh, UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi dan UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Provinsi termiskin
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat besar bagi Aceh dalam meuwujudkan kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian. Adapun jangka waktu pemberian otonomi khusus bagi Aceh hanya berlaku selama 20 tahun (2008-2027), dengan pembagian tahun pertama sampai tahun ke-15 sebanyak dua persen, sedangkan` untuk tahun ke-16 hingga 20 hanya diberikan 1 persen dari pagu DAU nasional.
Dalam konteks pengunaan dana otsus, pemerintah Aceh pada tahun (2008-2019) telah menerima dana sebesar Rp73,360 trilliun. Sedangkan untuk tahun 2020 pemerintah telah memberikan alokasi dana sebesar Rp8,3 trilliun.
Jika kita amati paparan dana di atas, sudah sepatutnya Aceh menjadi daerah yang mandiri dan maju dengan suntikan dana yang sangat besar dalam mendukung pembangunan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, agama, sosial, dan budaya. Mirisnya, tingkat kemiskinan di Aceh masih sangat tinggi hingga saat ini dimana pada tahun sebelumnya dinobatkan sebagai provinsi termiskin se-Sumatera dengan pendidikan dan ekonomi yang masih rendah.
Jika dicermati lebih spesifik, sebagian besar indikasi dari semua permasalah di Aceh menurut fakta dan data berbagai problematika di Aceh adalah angka kemiskinan yang sangat mengkawatirkan dimana sebelumnya berada pada angka 17,11%.
Walaupun saat ini telah terjadi penurunan sebesar 0,02 % namun masih berada di atas rata-rata nasional (11,22%). Hingga saat ini Aceh tertinggal jauh dibandingkan Sumatera Utara (10,79%) dan Sumatera Barat (6,71%) padahal jumlah anggaran pembangunan Aceh lebih besar dibandingkan dua provinsi tersebut.
Selain itu, kualitas pendidikan pun memprihatinkan dimana 56,63% rakyat Aceh hanya lulus SMP dan SD, akses terhadap pelayanan kesehatan semakin sulit dimana angka kematian ibu dan anak mencapai 192 per 100.000 kelahiran, dan kualitas pelayanan kebutuhan dasar rakyat Aceh seperti listrik semakin mengkhawatirkan.
Potensi listrik
Sampai saat ini, ketersediaan daya listrik hanya 495 MW itupun masih bergantung kepada pembangkit listrik di Sumatera Utara yang sebesar 150-200 MW padahal listrik sangat berguna dalam mendukung proses penenuhan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka melalui alokasi dana otonomi khusus (otsus) bisa mewujudkan kemandirian listrik di Aceh. Status dana otonomi khusus seringkali diperbincangkan oleh para mahasiswa dan masyarakat Aceh.
Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, di dalam alam Aceh terdapat banyak potensi listrik seperti hydro power (tenaga air) sebanyak 2.862, 8 MW yang berada di beberapa daerah seperti Krueng Teunom 288,2 MW, Krueng Dolok 32,2 MW, Krueng Woyla 274 MW, Tampur sebesar 428 MW, dan di daerah lainnya serta potensi listrik dari geothermal (panas bumi) dengan kapasitas yang tersedia di Provinsi Aceh sebesar 1.115 MW.
Berdasarkan potensi di atas, maka keseriusan pemerintah sangat diharapkan oleh seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan kemandirian listrik di Aceh. Otonomi khusus merupakan jalan efektif dalam mewujudkan kemandirian listrik di Aceh dengan dana yang besar dengan bantuan dari pakar pembangkit listrik yang bekerjasama dengan pihak universitas dan lembaga penelitian seperti Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, Universitas Teuku Umar, UIN Ar-Raniry, dan sebagainya.
Dengan kapasitas dan perlengkapan yang cukup, fasilitas pembangkit listrik dapat terealisasikan dengan waktu yang efesien dan sesuai target sehingga Aceh mampu mengatasi masalah listrik bagi masyarakat tanpa bergantung kepada provinsi Sumatera Utara bahkan potensi listrik itu bisa memberikan pasokan listrik cadangan ke provinsi lain. Selain itu, otonomi khusus berpontensi dalam mendukung program prioritas nasional dalam bidang kelistrikan di Indonesia teruama di Aceh.
Listrik untuk kesejahteraan
Dengan dana yang mumpuni, pemerintah, pakar listirik, lembaga penelitian, dan universitas dapat menciptakan inovasi teknologi rancang bangunan pembangkit listrik panas bumi (PLTPB) dan hydropower dengan menggunakan konsep teknologi condensing turbine and binary cycle guna memanfaatkan potensi listrik Aceh secara maksimal. Dengan adanya inovasi yang seperti ini, bahan bakar minyak yang di pakai dalam PLTD akan lebih hemat digunakan sehingga pemerintah tidak banyak menghabiskan dana Otsus untuk membeli BBM bagi PLTD.
Selain itu, pemerintah dan jajarannya perlu bekerjasama dan meyakinkan para investor dari berbagai wilayah dan negara luar untuk membangun pembangkit listrik dengan potensi yang telah teliti. Pemerintah dapat menjamin keamanan bagi mereka dalam membangun fasilitas pembangkit listrik terutama dalam proses birokrasi dan hukum seperti kepengurusan izin, adanya kontrak yang jelas, dan keberpihakan kepada masyarakat agar dapat berjalan dengan aman dan terkendali.
Dengan adanya sinergitas pihak pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan investor akan mempercepat proses distribusi listrik ke berbagai pelosok desa serta mampu mewujudkan potensi listrik seperti yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Adanya transparansi pemerintah terhadap alokasi dana otonomi khusus untuk mendukung terwujudnya kemandirian listrik di Aceh, maka pemerintah pun telah mendukung proses pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan mengurangi angka pengangguran serta kemiskinan. Semakin cepat kerja pemerintah dalam mewujudkannya, maka semakin besar harapan provinsi Aceh dalam memakmurkan dan menyejahterakan masyarakatnya.[]
Fitri Hardiyanti, mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Artikel ini merupakan pemenang pertama lomba menulis bertema Harapan Perubahan Aceh 2021 yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, serta SKK Migas.
REFERENSI
Malahayati, M. (2016). OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA: ANTARA TEORI DAN PRAKTIK DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.
Bakri, 2020. Akhir Maret Aceh Mandiri Listrik, Janji PLN kepada Anggota Dewan, https://aceh.tribunnews.com/2020/03/04/akhir-maret-aceh-mandiri-listrik-janji-pln-kepada-anggota-dewan. diakses pada 11 Januari 2021 di serambinews.com
Novada, Aryos. 2020. Memadukan Keasimetrisan Aceh dan Papua
https://dialeksis.com/analisis/memadukan-keasimetrisan-aceh-dan-papua/. di akses pada 18 Januari 2021 di https://dialeksis.com/