Oleh Anisa Sabila Nura
ACEH dikelilingi oleh Samudra Indonesia di wilayah Barat-Selatan, Selat Malaka serta perairan Andaman di wilayah Utara-Timur Aceh. Luas kawasan mencapai 295 ribu km dengan 2.666 km panjang garis pantai. Ini menjadikan kelautan Aceh sebagai jarum dan benang bagi kesejahteraan masyarakatnya. Laut Aceh merupakan bagian dari jalur yang menghubungkan berbagai cekungan samudra daerah tropis dan memainkan peran penting dalam sistem interaksi antara laut dan iklim. Laut Aceh adalah pusat kepentingan perairan internasional, nasional, dan tentunya daerah Aceh sendiri.
Pemandangan yang dilahirkan Laut Aceh selalu mengikat mata peliriknya. Pantai menjadi surga tersembunyi yang memiliki daya tarik istimewa dengan biru jernih warna airnya dan putih bersih pasirnya. Laut Aceh memiliki modal saing kelas internasional bila terus dilestarikan. Jejaknya seperti pantai Lhoknga, salah satu pantai yang cukup populer di Aceh.
Ombak yang dikuasai pantai Lhoknga cukup besar sehingga pantai ini menjadi incaran para selancar internasional. Pantai Lhoknga merupakan spot favorit para wisatawan penikmat senja. Jadi tak heran semakin matahari menghilir, maka semakin ramai wisatawan yang hadir.
Selain itu, Aceh merupakan produsen hasil laut terbesar di Sumatra. Data lalu lintas komoditi hasil perikanan domestik selama tahun 2019 mencapai 14 ribu ton lebih (BKIPM Aceh, Diky Agung Setiawan). Hasil laut seperti ikan tuna, ikan cakalang, ikan dencis, ikan tongkol, ikan sarden, ikan layang, gurita, udang, lobster, dan ikan karang lainnya menjadi primadona perahu nelayan tradisional yang akan dipersembahkan kepada masyarakat lokal bahkan mancanegara.
Eminensi yang dimiliki laut Aceh sayangnya belum dijadikan prioritas dalam sistem observasi sebagai investasi jangka panjang untuk memelihara laut oleh pemerintah. Keterbatasan Sumber Daya manusia (SDM) dan teknologi melengkapi persoalan utama ketidakprioritasan sistem observasi kelautan. Aktivitas negatif yang dilakukan masyarakat juga bagian dari persoalan utama, seperti membuang limbah sembarangan dan merusak ekosistem laut. Diperkirakan sekitar 80% terumbu karang Indonesia akan terancam hilang dalam 30 tahun ke depan karena perubahan iklim. Aktualnya terumbu karang merupakan ikonik laut yang berkumandang.
Konektivitas antarwilayah
Konektivitas antarwilayah adalah persoalan daerah Aceh untuk memamerkan keelokannya. Minimnya konektivitas antarwilayah adalah persoalan utama bagaimana wilayah dapat berkembang. Sistem transportasi sangat dibutuhkan agar tersedianya aksesibilitas aktivitas yang diinginkan agar dapat berjalan dan berkembang. Pembangunan infrastruktur di Aceh belum berjalan dengan baik sehingga membuat segala jenis pertumbuhan menjadi terhambat.
Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAP) merilis hasil penelitian tentang infastruktur di Aceh pada tahun 2011 bahwa ternyata banyak perencanaan pembangunan yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat. Harusnya pemerintah melihat prioritas pengalokasian dana sesuai dengan kebutuhan serta mempertimbangkan kesenjangan sarana jalan antardaerah.
Kebanyakan daerah sepanjang pantai barat memiliki sistem infrastruktur yang sangat rendah. Aceh Barat memiliki jalan 22% dalam kondisi baik dan mendapat kuncuran dana Otsus pembangunan dan pemeliharaan jalan.
Surga terpendam yang dimiliki sulit dijangkau karena belum dimanfaatkan secara maksimal dan minimnya aksesibilitas jalan sehingga para wisatawan tidak dapat menjangkau wilayah tersebut. SDM yang memiliki pendidikan berbasis potensi kemajuan alam sangat diperlukan untuk persoalan seperti ini guna mengembangkan daerah Aceh dan membuat hal ini menjadi pendapatan yang tinggi bagi daerah dalam hal sektor pariwisata.
Potensi Bisnis
Laut Aceh memiliki potensi bisnis yang tinggi. Bagaimana tidak, Aceh merupakan pemasok hasil laut terbesar di Sumatra hingga diekspor ke mancanegara. Sebagaimana keterangan oleh sang Menteri Perindustrian, “Semangat kita adalah mengembangkan industri olahan di Aceh karena ini memberi manfaat bagi masyarakat Aceh. Pendapatan yang meningkat dapat dinikmati nelayan, pelaku usaha, dan berbagai tenaga kerja, serta memberi pendapatan bagi daerah”.
Pengembangan industri pada hasil Laut Aceh dalam masa on going yang bila dan akan sukses akan berdampak positif bagi masyarakat sesuai dengan keterangan Menteri Perindustrian. Selain hasil laut yang dapat dikonsumsi, Laut Aceh juga memiliki hasil laut yang dapat dijadikan ornamen estetika berbahan baku kerang.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Euis Saedah mengatakan pihaknya akan mendorong pemanfaatan ikan dan hasil laut guna meningkatkan nilai tambah. “Ibu-ibu di kawasan pesisir dapat dibina dan didampingi memproduksi aneka kerajinan, misalnya yang berbahan baku kerang” demikian ungkapnya.
Pembentengan kelestarian
Kerugian lingkungan atas perilaku manusia sangat wajib diperkirakan. Analisis sistematis pertama terbit di jurnal Current Biology 2018 yang menemukan bahwa luas lautan berubah karena perilaku manusia dan hanya menyisakan 13% yang dibiarkan alami. Gertakan pada ekosistem laut muncul dari zat kimia yang buruk (polusi plastik).
Greenpeace memperkirakan 12,7 juta ton plastik berakhir di kantong makanan biota laut setiap tahun. Seringkali mereka mati karena hal berbahaya ini. Pemerintah perlu membega persoalan ini dengan undang-undang melindungi lingkungan dan menyelenggarakan diet plastik agar lingkungan tidak terancam.
Kerja sama antarmasyarakat untuk membentengi kelestarian alam laut harus dilangsungkan mulai dari hal-hal genting, seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak membuang limbah pabrik ke laut, tidak menyentuh sembarangan terumbu karang saat menyelam di laut, mempelajari potensi alam laut kita, dan banyak lainnya. “Ketika kita menyembuhkan bumi, kita akan menyembuhkan diri sendiri."
Kita hidup berdampingan dengan alam. Ketika alam kita asri, diri kita pun akan mengarah ke hal tersebut. Lingkungan yang kita pilih akan membentuk diri kita. Mulai saat ini jagalah lingkungan dan lestarikan karena itu keuntungan untuk diri kita sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Hasrat unggul dengan segala eminensi yang dikuasai oleh kelautan Aceh hendaknya dapat memajukan pembangunan dan pertumbuhan daerah Aceh. Merancang Laut Aceh hingga menguasai level daya saing internasional dan menciptakan pendapatan atas potensi bisnis untuk masyarakat. Tentunya segala eminensi yang dimiliki ini harus dibentengi oleh niatan masyarakat untuk tetap berkawal guna terjaganya keunggulan kelautan Aceh.[]
***
Anisa Sabila Nura, siswa SMAS Sukma Bangsa Lhokseumawe. Pemenang favorit kategori siswa Lomba Menulis Artikel "Harapan Perubahan Aceh" yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, dan SKK Migas.