Oleh Alicya Putri Gunawan
MARAKNYA kasus pelecehan seksual kepada perempuan sudah sampai pada titik sangat mengkhawatirkan. Kasus pelecehan sering kita jumpai di lingkungan terdekat mulai dari cat calling, menyentuh bagian tubuh tanpa izin, sampai yang terberat dalam bentuk pemerkosaan.
Belum lama ini, dari antaranews.com per 15 Januari 2021 diberitakan sebuah kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, di Kecamatan Kutamakmur, Aceh Utara. Pelakunya adalah seoarang laki-laki paruh baya, yang mengelabui korban dan keluarga dengan dalih mengobati sakit kanker rahim dan kemasukan jin.
Pemerintah berkesan kurang tanggap dalam mengatasi segala kekerasan dan pelecehan seksual. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang penghapusan KDRT dan lainnya, ternyata tidak mampu mengurangi lonjakan angka kekerasan dan pelecehan di Indonesia.
Sepanjang 2020, hasil penelitian Unicef dan yang dikutip dari staf perlindungan anak Unicef perwakilam Aceh, Zaina Anggraini berdasarkan data Simphoni System Informasi Online, kasus kekerasan seksual di Aceh berada di urutan kedua pada 2018 dan di urutan ketiga pada 2019.
Sayangnya salah satu usaha dalam melawan kasus pelecehan dan kekerasan seksual melalui pembentukan payung hukum, masih membentur tembok. RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual), sampai hari ini belum juga disahkan. Padahal undang-undang ini diperlukan dalam melawan pelaku kejahatan seksual dan melindungi masyarakat pada umumnya, terkhusus perempuan.
Kalau menunggu UU PKS ini lahir, angka pelecehan dan kekerasan seksual dikhawatirkan akan terus meningkat. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan pendekatan baru untuk mengedukasi, menyadarkan, dan mencegah lahirnya kasus-kasus baru.
Untuk kasus wilayah Aceh, kehadiran qanun seharusnya bisa menjadi sumber hukum alternatif yang berpihak kepada perempuan. Alih-alih melindungi, aturan yang dimuat malah mengharuskan korban untuk menghadirkan alat bukti dan minimal empat orang saksi. Sementara pelaku, bisa dibebaskan dari segala tuduhan pemerkosaan jika bersedia melakukan sumpah sebanyak lima kali.
Tidak mengherankan jika ditinjau dari data yang dihimpun P2TP2A Aceh, kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan dan ditangani oleh pusat layanan terpadu perempuan dan anak Aceh selama 2019 mencapai 1.044 kasus. Ini berdasarkan laporan dari pengaduan masyarakat, sementara masih banyak yang tidak dilaporkan untuk mendapatkan penyelesaian kasus.
Pegiat perempuan desa
Sudah saatnya pemerintah mengoptimalisasi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Dalam mengatasi segala permasalahan kekerasan seksual, korban selayaknya mendapat perhatian utama untuk dilindungi dan pelaku diadili seadil-adilnya.
Optimalisasi ini bisa berangkat dari tingkat desa, melalui pembentukan lembaga Pegiat Perempuan Desa yang bisa menjadi wadah pengaduan, sosialisasi pendidikan seks usia dini, ataupun penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Dengan adanya lembaga ini, masyarakat desa menjadi tahu kemana harus melapor dan bisa mendapatkan bimbingan dan arahan terhadap kasus yang dihadapi, sebelum menempuh jalur hukum.
Sebagai bentuk upaya preventif kekerasan anak dan perempuan, melalui Pegiat Perempuan Desa bisa dibentuk unit Layanan Pengaduan Perempuan Desa, yang unsur-unsurnya terdiri dari perangkat desa, tuha peut, dan kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian serupa.
Pada umumnya, layanan di tingkat desa membuat proses aduan lebih terbuka karena adanya ikatan sosial di antara mereka. Dengan adanya aduan ini, bisa dirumuskan langkah-langkah preventif dan penyelesaiannya terhadap kasus-kasus yang dihadapi.
Penulis sangat menyarankan pembentukan lembaga perempuan di desa, karena program ini bisa menjadi terobosan pemerintah dalam memerangi kasus pelecehan seksual di daerah.
Di samping itu, pemerintah bisa mewujudkan strategi pemberdayaan perempuan, terutama terhadap mereka yang menjadi korban kekerasan seksual. Pemberdayaan yang dimaksud bisa berupa penanganan psikis dan mental pasca trauma, pemberian pelatihan keahlian tertentu, ataupun edukasi masyarakat agar setiap korban bisa diterima kehadirannya di masyarakat tanpa adanya cibiran.
Berbicara tentang desa, selama ini sudah terbentuk Karang Taruna. Karang Taruna merupakan sebuah perkumpulan muda-mudi dan komponen masyarakat lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemudaan dan sekaligus menanggulangi berbagai masalah kesejahteraan sosial terutama yang dihadapi generasi muda.
Agar tujuan-tujuan Pegiat Perempuan Desa bisa tercapai dengan baik, salah satu cara yang dilakukan bisa dengan menggandeng Karang Taruna. Upaya kerja sama semacam ini, selain bisa membantu menangani kasus, juga bisa menjadi kesempatan dalam menanamkan kepedulian terhadap persoalan yang dihadapi perempuan dan anak di kalangan anak muda.
Bagi penulis keterlibatan perempuan dalam pembentukan program ini sangat krusial agar bisa diterima oleh masyarakat. Seminar dan sosialisasi perlu dilakukan di balai-balai guna membentuk kesadaran terkait modus pelecehan dan kekerasan seksual, sehingga meningkatkan kewaspadaan perempuan dari bahaya yang mengintai. Kasus pelecehan dengan dalih pengobatan kanker rahim dan kemasukan jin seperti yang penulis sebutkan, sangat mungkin dicegah seandainya bentuk-bentuk edukasi pernah diterima.
Pada akhirnya, apapun program yang ingin dibuat, tetap memerlukan dukungan dan peran serta seluruh elemen masyarakat. Semoga melalui program-program pemberdayaan perempuan dan perkembangan anak, bisa menjadikan desa bebas kekerasan seksual demi mewujudkan masyarakat yang bermartabat, maju, dan bahagia.[]
***
Alicya Putri Gunawan, siswa SMAN Modal Bangsa Arun, Lhokseumawe. Pemenang favorit kategori siswa Lomba Menulis Artikel "Harapan Perubahan Aceh" yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, dan SKK Migas.