Oleh Aifa Meisi Putri Aulia
DIAMBIL dari jurnal.unissula.ac.id, literasi dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Penguasaan literasi merupakan indikator penting untuk meningkatkan prestasi generasi muda dalam mencapai kesuksesan. Penanaman literasi sedini mungkin harus disadari karena menjadi modal utama untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan berbudaya. Permasalahan yang dihadapi indonesia yakni rendahnya penguasaan literasi yang di buktikan melalui survei Programme for International Student Assessment (PISA).
Literasi dapat menjadi media pencegahan kekerasan seksual. Sekarang ini, kian merajalela tren korban pelecehan seksual. Tidak hanya orang dewasa namun kasus pelecehan seksual sudah masuk di kalangan remaja bahkan anak usia belia. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi: main mata,siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga pemerkosaan.
Penanaman konsep literasi dapat ditumbuhkembangkan dengan mengolaborasikan dengan kebiasaan-kebiasan masyarakat pada umumnya terutama generasi muda menikmati suasana alam. Salah satu lokasi yang sering digunakan adalah pesisir pantai. Tepat di pantai Ujong Blang Kota Lhokseumawe terdapat kafe literasi yang menyediakan tempat untuk bersantai sekaligus mengisi amunisi otak. Hal ini tentu sangat membantu untuk membudidayakan budaya literasi yang kini semakin jarang dipedulikan.
Berdasarkan Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) Kota Lhokseumawe 2018, jumlah anak korban kekerasan seksual tercatat 9 orang. Sementara tahun 2019 Kota Lhoksuemawe menempati urutan ketiga terbesar angka kekerasan seksual anak di Provinsi Aceh. Sedangkan pada 2020, kasus pelecehan seksual pada anak naik sebesar 33 persen dari tahun sebelumnya.
Budaya literasi
Survei menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi 60 dari 61 negara dalam penguasaan literasi. Padahal, budaya literasi bermanfaat dalam mewujudkan peran generasi muda dalam aspek pembangunan negara. Generasi muda memiliki kepribadian unggul dan mampu memahami pengetahuan serta teknologi untuk bersaing secara lokal dan global. Kemampuan literasi juga sangat memengaruhi penalaran dan kompetensi. Sehingga siswa harus dibekali dengan kecintaan pada literasi sedari dini.
Literasi juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi akualisasi generasi unggul. Untuk bisa bersaing dengan negara lain, generasi muda harus mempunyai kemampuan yang dibutuhkan dengan meninggkatkan kualitas SDM. Kualitas SDM berarti kemauan dengan kemampuan individu dalam menyerap ilmu yang kemudian dikembangkan dan diimplementasikan. Salah satu langkah sederhana namun penting adalah menanamkan pentingnya literasi bagi generasi muda.
Literasi dapat memberikan manfaat berupa wawasan yang luas. Melalui media literasi dan ditambah dengan pola asuh yang baik akan membantu menurunkan angka kasus pelecehan pada remaja dan anak di bawah usia.
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan literasi media pada antisipasi pelecehan seksual pada anak dan remaja maka diperoleh temuan bahwa literasi media orang tua mayoritas masuk kategori tinggi yaitu sebesar 51 persen dan sebesar 53,39 persen responden mampu mengantisipasi pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya, yaitu dengan membatasi pemakaian media masa seperti internet, gadget, TV dan lain sebagainya.
Deputi bidang perlindungan anak kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindugan anak (Kemen PPPA), Nahar, mengatakan sejak 13 Januari 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak. “Dari angka ini (4.116 kasus) angka yang paling tinggi itu angka korban kekerasan seksual,” kata Nahar dalam webinar bertajuk “Percepatan Pengembangan PATBM di Masa Pandemi Covid-19 Tahap II”, Senin (24/8/2020).
Kondisi ini tentu harus mendapatkan perhatian khusus dari berbagai kalangan. Mulai dari orang tua di rumah, tenaga kependidikan di sekolah, ustaz, dan ustazah di pesantren, para dosen di perguruan tinggi, dan para pemangku jabatan di berbagai lapangan kerja. Semua ini harus saling berkoordinasi satu sama lain, jika ingin benar-benar serius dalam mengatasi problema yang kian kusut ini.
Trilogi pendidikan yang dirilis Aristoteles adalah suksesnya sebuah pendidikan dipengaruhi tiga elemen, yaitu rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di rumah tangga adalah dasar peletakan pondasi yang telah diprogramkan, diterapkan, dan dijadikan pedoman untuk mennciptakan sosok generasi muda yang kuat. Kuat secara spiritual, mau pun kuat dalam ilmu pengetahuan.
Kuat secara spiritual, sudah berlangsung sejak dalam kandungan ibu selama 9 bulan lebih. Sejak lahir sang bayi mulai diberikan wawasan pengetahuan keagamaan, dengan mengajari mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim ketika akan menyusui. Proses ini dilakukan berulang kali selama bertahun-tahun. Selain menanamkan nilai-nilai religius, orang tua juga memberikan dasar tulis baca sebagai bekal ketika masuk dalam ranah pendidikan formal.
Selain di sekolah meneruskan nilai-nilai keagamaan, berbagai disiplin ilmu dibekali sedini mungkin. Proses mentransfer ilmu tidak hanya berhenti sampai di situ. Landasan ilmu yang diberikan guru, harus dapat diaplikasikan dalam keterampilan. Keterampilan menulis, mencipta, meneliti, dan lain sebagainya. Artinya di sini, ilmu itu tidak statis, namun harus dapat diaplikasikan di mana saja, kapan saja, dan untuk berbagai kebutuhan. Proses penanaman konsep literasi, akan dapat menciptakan bibit unggul generasi yang mandiri, kreatif, disiplin, inovatif, dan berbagai karakter lainnya.
Seperti yang dikatakan Aristoteles, selain pendidikan di rumah, sekolah, untuk menempa dan menjadikan sumber daya yang berkualitas, seorang anak perlu ditempa dan mendapatkan ilmu di tengah kehidupan bermasyarakat. Kita tahu, bahwa di lingkungan akan muncul berbagai fenomena positif, dan negatif.
Ketika pembekalan ilmu keagamaan di rumah, pengetahuan, dan keterampilan di sekolah, sudah bisa menjadi modal untuk mengatasi hal-hal negatif yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Proses filterisasi ini akan selalu berjalan di tengah perjalanan hidup di masyarakat. Hal yang paling berat adalah memfilterisasikan kegiatan literasi melalui dunia medsos.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa penerapan konsep literasi teknologi, dapat menjadi media untuk mengantisipasi tindak kriminal. Penerapan Trilogi Pendidikan dalam kehidupan anak, dapat membentuk karakter sedini mungkin, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang andal dalam spiritual, dan memiliki wawasan pengetahuan yang baik. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pencegahan kasus tindak kriminalitas remaja, dikarenakan para remaja sudah dibekali dengan kemampuan literasi sedari dini dan juga edukasi-edukasi tentang bahaya ketika melakukan tindak kriminal tersebut.[]
***
Aifa Meisi Putri Aulia, siswi SMA Modal Bangsa Arun, Lhokseumawe. Pemenang favorit kategori siswa Lomba Menulis Artikel "Harapan Perubahan Aceh" yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, dan SKK Migas.