"Peumulia Jamee" Investor Migas

SHARE:  

Humas Unimal
Ilustrasi peresmian Migas Center di Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh: Ayi Jufridar*

Investasi sektor migas dan gas di Aceh kembali menggeliat dalam beberapa tahun terakhir ditandai dengan bertambahnya wilayah kerja yang digarap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), baik di darat maupun lepas pantai. Belum semua wilayah kerja menyemburkan kabar gembira, beberapa di antaranya masih dalam tahap studi geofisika dan pemetaan sosial dengan memberdayakan potensi lokal seperti perguruan tinggi dan lembaga adat. Namun, kehadiran sejumlah perusahaan migas internasional di Aceh mengindikasikan banyak aspek positif bagi Aceh, termasuk dari sisi iklim investasi.

Aceh pernah mengalami masa jaya sekaligus masa kelam dari sektor migas yang seolah membuktikan mitos kutukan sumber daya alam. Kekayaan gas di ladang Arun pernah menjadi penopang APBN lebih dari satu dekade, tetapi percikan kekayaan itu tidak menetes ke Aceh sebagai daerah penghasil. Potret kemiskinan bahkan bisa dilihat sampai sekarang di ketiak ladang yang kini digarap perusahaan lokal ketika cadangan gasnya tinggal residu (tail gas).

Citra buruk perusahaan migas juga lahir karena masalah keamanan. Di tengah pemerintahan yang represif, perusahaan migas dituding ikut memfasilitasi militer dalam pelanggaran hak asasi manusia. Kondisi ini semakin menguatkan kesan negatif perusahaan migas sebagai sosok asing yang bengis dan tak terjangkau, tetapi datang untuk mengeruk kekayaan Aceh. Transfer teknologi, ilmu pengetahuan, lebih-lebih kesejahteraan terhadap masyarakat lokal tidak terjadi selama lebih dari 30 tahun ladang Arun dikeruk.

Pola baru
Dengan kenangan buruk itulah perusahaan nasional dan multinasional kini masuk ke Aceh. Investasi besar dalam sektor migas harus diikuti dengan perjuangan menampilkan citra yang ramah, peduli kepada masyarakat lokal, sehingga bisa mendapat dukungan dalam seluruh tahapan kegiatan hulu migas. Harapan adanya dukungan seluruh elemen masyarakat terhadap kegiatan hulu industri migas, tergambar dari proses yang dilakukan sejumlah perusahaan yang sudah mendapatkan hak pengelolaan blok di Aceh. Kini kontraktor migas memulai dengan pola baru yang melahirkan harapan baru bagi kemakmuran Aceh.

Mereka membangun kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga adat seperti panglima laot sejak dari masa survei. Keputusan membangun sinergitas dengan lembaga adat tersebut membuktikan perusahaan migas sudah memahami struktur organisasi tradisional di Aceh. Untuk tahapan survei kapal yang melintasi perairan Aceh, misalnya, panglima laot dilibatkan tidak hanya untuk mengetahui adat melaut nelayan Aceh, tetapi juga mendata jumlah rumpon yang akan dilintasi kapal survei.

Jalur yang dilalui kapal survei menyebabkan rumpon milik nelayan menjadi rusak sehingga perusahaan survei ingin memberikan ganti untung. Kondisi tersebut mencerminkan penghargaan terhadap lembaga lokal sekaligus upaya menjaga keberlangsungan usaha nelayan. Namun ada juga yang nakal menyikapi keramahan investor dengan menambahkan rumpon liar di jalur yang bakal dilalui kapal survei karena harga ganti untung sekitar Rp60 juta sangat menggiurkan, jauh di bawah modal membuat rumpon liar yang tidak dimaksudkan untuk menjadi rumah ikan.

Karpet merah investor
Investasi di sektor migas merupakan investasi padat modal dan tinggi risiko. Setelah mendapatkan hak pengelolaan wilayah kerja, KKKS sendiri yang mengeluarkan biaya tinggi untuk melaksanakan seluruh tahapan industri hulu migas. Seluruh risiko menjadi tanggung jawab investor ketika hasilnya zonk atau tidak ditemukan cadangan gas atau minyak bumi. Namun bila berhasil, pemerintah tinggal menerima bagi hasil.

Regulasi dalam sektor migas di Indonesia sudah lama menjadi keluhan banyak investor karena sistem bagi hasil dan adanya kewajiban participating interest yang tidak ditemukan di banyak negara penghasil migas.  Dengan modal participating interest yang harus ditanggung investor dan tingginya risiko, tak heran bila pelelangan wilayah kerja akhir-akhir ini tidak terlalu menarik bagi kontraktor (Bisnis, 31 Oktober 2021). Kondisi ini harus menjadi perhatian seluruh elemen di Aceh agar investor tidak hengkang sebelum menabur uang.

Berbagai regulasi investasi migas di Indonesia—termasuk kekhususan Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh serta kehadiran Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), sesungguhnya sudah sangat menguntungkan Aceh bila diimplementasikan dengan baik.

Kejadian gagalnya penandatanganan nota kesepahaman (MoU) investasi Murban Energy senilai Rp7 triliun di Aceh Singkil—terlepas dari masalah administratif (Serambi, 7 November 2021)—membuktikan kompleksitas investasi, bahkan dalam tahap teken MoU yang belum ada jaminan berlanjut dengan MoA seperti terlihat selama ini. Banyak negara lain menawarkan berbagai kemudahan investasi mulai dari regulasi, keringanan pajak, sampai penerimaan masyarakat lokal yang ramah bagi investor.

Singkatnya, Aceh tidak hanya bersaing dengan daerah lain dalam investasi migas, melainkan juga dengan negara tetangga yang lebih menarik minat kontraktor seperti Malaysia dan Australia. Bukan saja dari aspek regulasi, tetapi juga sikap masyarakatnya lebih welcome dengan dukungan teknologi serta infrastruktur yang lebih lengkap dan modern sebagai aspek pendukung kegiatan hulu migas.

Pengalaman masa silam memang berisi lembaran kelam dalam hubungan kontraktor migas dengan masyarakat Aceh, tetapi kondisi sekarang jauh berubah dengan perubahan kondisi politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia serta dunia. Di saat negara lain berlomba-lomba mengundang investor migas masuk, Aceh harus memberikan kemudahan baik melalui regulasi yang sudah ada, keberadaan BPMA yang bisa memangkas birokrasi, serta berbagai kearifan lokal di Aceh harusnya membuat betah kontraktor migas.

Budaya peumulia jamee alias memuliakan tamu, selayaknya diperlakukan juga dalam melayani kontraktor migas sehingga mereka merasa nyaman berinvestasi di Aceh. Masyarakat Aceh memiliki banyak kearifan lokal yang mengatur tata hubungan dengan sesama manusia, alam, serta dengan Tuhan. Nilai-nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012), masih relevan sampai sekarang dan bisa diimplementasikan dalam berbagai aspek, termasuk investasi di sektor migas.

Pola hubungan ramah tapi kritis harus diperkuat dengan kontraktor. Pengalaman masa lalu adalah cermin. Masyarakat Aceh tidak boleh lagi menjadi penonton dari investasi migas mulai dari hulu sampai ke hilir. Aceh memiliki banyak SDM di bidang migas, baik dari alumni ladang Arun yang kini bekerja di berbagai perusahaan multinasional dalam dan luar negeri, maupun yang kini sedang menempuh pendidikan. Perguruan tinggi di Aceh pun, kini menyesuaikan diri dengan menghadirkan program studi relevan seperti Teknologi Pengolahan Minyak dan Gas  di Politeknik Negeri Lhokseumawe atau Prodi Perminyakan di Universitas Malikussaleh yang sedang mengantre perizinan. Keduanya mendapat dukungan kuat dari BPMA yang siap memasok tenaga pengajar.

Kombinasi antara kearifan lokal dan ilmu pengetahuan di sektor migas membuat harapan kejayaan Aceh bukan lagi payeh (pepesan) kosong yang mustahil terwujud.[]

Ayi Jufridar, dosen Universitas Malikussaleh. Artikel tersebut pernah dipublikasikan di Portalsatu.com dan meraih juara pertama Lomba Menulis Karya Jurnalistik 2021 yang digelar PWI Aceh, SKK Migas Sumbagut, dan BPMA. 

 


Kirim Komentar