Tenggelam dalam Keputusasaan Lingkungan

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya M.Hum. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh: Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh.Ikut mengembangkan perkuliahan Antropologi Ekologi

Bulan Desember 2021 – hingga Februari 2022 bisa dipastikan Aceh kembali “tenggelam” dalam banjir. Tentu bukan maksud meminta doa buruk, tapi melihat siklusnya, akan ada banjir dan longsor lagi pada tahun ini.

Apalagi gelombang La Nina pada tahun ini telah terjadi sehingga membentuk curah hujan lebih banyak. Namun penting bagi kita mendefinisikan bencana itu sebagai non-bencana alamiah (natural disaster).

Pertama, banjir, kekeringan, dan longsor bukan bencana yang bagian dari misteri dari Tuhan, layaknya gempa tektonik dan vulkanik, erupsi merapi, dan tsunami. Bencana kedua sama sekali tidak bisa dipastikan kehadirannya. Badan Metereologi dan Geofisika hanya membuat taksiran berdasarkan ceruk impitan bumi karena Indonesia berada di lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.

Namun kapan dan dimana bencana itu hadir benar-benar menjadi mysterium tremendum et fascinans dari Allah sang Pencipta segala kemungkinan. Berbeda dengan banjir, kebakaran, kekeringan, dan longsor yang disebut sebagai bencana ulah manusia (man made disaster). Bencana ini terjadi karena krisis ekologis yang semakin parah.

Kedua, perilaku kita terutama di Aceh dalam memperlakukan alam sedemikian buruknya. Meskipun dalih MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh dijadikan dalih di dalam Qanun No.19 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Rencana (RTRW) penafsirannya dilakukan dengan sewenang-wenang, bahkan cenderung brutal. Atas dasar MoU Helsinki, seolah-olah kita bisa mengeksploitasi alam Aceh semajnun mungkin.

Ketiga, pandangan kita atas sawit agak absurd. Atas dasar investasi kita jadikan dalih pembenaran untuk melukai alam sedemikian parah. Dari riset yang penulis lakukan terlihat bahwa manfaat ekonomis yang didapatkan tidak sebesar luka ekologis yang ditimbulkan.

Manipulasi demi eksploitasi

Hal itu terlihat ketika semangat MoU Helsinki dimasukkan ke dalam Qanun No 19 tahun 2013 tidak ditempatkan dalam praksis legal yang tepat. Bahwa hadirnya qanun tersebut demi “menegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua”, malah bertranformasi menjadi konflik baru ketika politik agraria tidak dijalankan dengan bijaksana.

Hari ini problem perusakan ekologis di Aceh semakin parah karena hasrat eksploitasi dan investasi ekonomi lebih besar dibandingkan semangat konservasi dan investasi ekologis. Memang pada saatnya alam harus dieksploitasi demi kepentingan manusia, tapi tetap dilakukan dengan timbangan keberlanjutan dan keseimbangan.

Dimensi equilibria harus ditempatkan dalam konteks yang tepat. Alam akan menghadapi situasi tidak seimbang ketika eksploitasinya dilakukan melebihi kemampuannya bertahan. Seperti manusia, daya tahan alam atas destruksi ada batasnya. Memang gejala perusakan lingkungan bukan semata terjadi di Aceh.

Ada masalah di hulu yaitu kebijakan nasional yang akhirnya berdampak ke daerah. Namun sebagai daerah yang menganut lex specialis, Aceh harusnya mampu menjaga tanah dan airnya; hutan, sungai, dan lautannya; bumi dan kandungannya dengan lebih ramah dan jauh dari model Jakarta. Salah satu model Jakarta yang berdampak ke daerah adalah masalah eksploitasi sumber daya alam.

Pemberlakuan UU Cipta Kerja (UU No.11 tahun 2020) yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi inskonstitusional bersyarat (kompas.com, 26/11/2021) ikut menreduksi Aceh. UU itu memperkuat legimitasi pada eksploitasi lingkungan yang dengan mudah ditiru daerah. Bahkan UU itu membuka ruang manipulatif yang lebih parah pada ketentuan organik termasuk di tingkat perda/qanun.

Semakin eksploitatif

Tesis itu penulis temukan dalam penelitian terkait dalam “krisis lingkungan dan dampak sawitisasi di Aceh Utara” yang menunjukkan adanya multiplikasi masalah yang mendera kabupaten ketujuh terluas (3.326,86 km2) dengan populasi terbanyak (619.410 jiwa) di Aceh itu (BPS Aceh 2020).

Secara “statistik” Aceh Utara tidak memiliki lahan sawit yang cukup luas jika ditaksir dengan luas daratannya, “hanya” 18,19 ribu hektar.

Namun, seperti dikatakan penulis Amerika Serikat, Darrel Huff, statistik sering digunakan untuk berdusta. Luas perkebunan sawit di Aceh Utara jauh dari data resmi.

Logikanya, jika luas lahan HGU milik PTPN 1 dan PT.Satya Agung saja (dua perusahaan terluas lahan Hak Guna Usaha (HGU) telah menghabiskan 17 ribu hektar, bagaimana pula ruang bagi pemilik HGU dan perusahaan lain? Padahal dari data yang penulis dapatkan, ada 29 HGU dan 12 pemegang konsesi di Aceh Utara.

Data moderat lahan sawit Aceh Utara berdasarkan konsesi HGU adalah 69.855 hektar. Walhi sendiri mencatat ada 35 ribu hektar lahan sawit di Aceh Utara per Maret 2015 (Mongabay, 4 Juli 2016). Secara total lahan se-Aceh luas lahan sawit di Aceh 537.039 hektar (Tempo, 5 Desember 2021).

Problem lainnya adalah postur kepemerintahan (govermentality) perkebunan sawit yang dianggap memiliki daya tarik luas penambah devisa negara, tapi kenyataannya tidak seperti yang diidealkan. Pemasukan terhadap negara lebih irit dibandingkan rakusnya lahan yang digarap.

Hasil riset Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita, dan Auriga Nusantara menemukan data bahwa pendapatan negara yang hilang dari sektor sawit mencapai Rp 2,83 – Rp 3,63 triliun.

Itu setara dengan 40 persen dana yang akhirnya menguap bak gas metanol, baik oleh praktik kolusi, manipulasi faktur perpajakan, dan pengecilan keuntungan perusahaaan.

Belum lagi dari hasil observasi penulis dan tim di wilayah perkebunan sawit luas di Aceh Utara terlihat wajah-wajah kemiskinan membelukar di mana-mana. Perluasan lahan sawit yang tidak terkendali itu akhirnya menjadi penyumbang bencana alam.

Situasi ini sempat melahirkan protes di kalangan masyarakat sipil bahwa alam lestari tak pantas disawitisasi terus-menerus sehingga memberikan tekanan ekologis yang semakin berat.

Atas dasar itu Bupati Aceh Utara mengeluarkan instruksi (Inbup Aceh Utara No.548/INSTR/2016) yang menyerukan moratorium izin perkebunan sawit. Nyatanya kebijakan itu tidak mudah ditegakkan karena adanya bujuk rayu dari perusahaan-perusahaan luar yang berdalih berinvenstasi di Nanggroe Pasee ini.

Bentuk krisis lingkungan juga juga diperparah dengan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH). Salah satu yang paling kontroversial adalah izin HTI yang dikeluarkan oleh Gubernur Irwandi Yusuf berdasarkan Keputusan Nomor 522.51/569/2011 kepada PT Rencong Pulp dan Paper Industry pada 2011.

Izin ini sempat diajukan ke pengadilan oleh Walhi karena cacat prosedural akibat melebihi kewenangan gubernur (10.384 hektar). Proyek HTI ini ikut meresahkan masyarakat karena menghabiskan semua vegetasi yang bisa menjadi penopang krisis ekologis sehingga menambah parah deforestasi di Aceh Utara (Serambinews.com, 28 Juli 2021).

Memang bukan sawit satu-satunya penyebab krisis lingkungan. Namun politik eksploitasi lahan yang predatoris, semakin menohokkan alam ke kubangan kerusakan dan menjenuhkan masyarakat ke lubang kemiskinan.

Artikel ini telah tayang di halaman opini harian Serambi Indonesian dengan judul Tenggelam dalam Keputusasaan Lingkungan, Pada Selasa (21/12/2021).


Berita Lainnya

Kirim Komentar