Penyederhanaan Peserta Pemilu

SHARE:  

Humas Unimal
Ayi Jufridar, dosen Universitas Malikussaleh. Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Utara periode 2008 - 2018. Foto: Dok Pribadi.

Oleh Ayi Jufridar

ANTUSIASME partai politik menyambut Pemilu 2024 tergambar dalam proses pendaftaran peserta pemilu yang berlangsung 1 – 14 Agustus 2022 sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Sebanyak 40 partai di tingkat nasional resmi mengajukan berkas ke KPU sampai hari terakhir (Kompas.com, 15/8/2022).

Sementara di Aceh, ada tujuh partai lokal yang mendaftarkan diri dan enam di antaranya dinyatakan lengkap dan berhak maju ke tahap verifikasi administrasi dan faktual.  

Bukan hanya partai baru, partai lama dan partai besar pun begitu antusias menyambut tahapan pendaftaran yang merupakan langkah awal menuju pertarungan politik pada 2024 mendatang. Ibarat pertandingan sepak bola, setiap tim baru menunjukkan susunan pemain. Mencetak gol lebih banyak dari lawan menjadi tujuan, syukur-syukur bisa menampilkan permainan cantik yang menghibur penonton (baca: rakyat).

Setiap parpol tentunya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi proses berikutnya, yakni verifikasi administrasi dan faktual yang menentukan lolos tidaknya mereka sebagai peserta Pemilu 2024. Proses verifikasi adminitrasi yang panjang sampai pengumuman pada 14 Oktober 2022 mendatang, memberikan kesempatan kepada parpol untuk melengkapi dan memperbaiki semua persyaratan.

Dengan sistem yang sudah tersosialisasikan dengan baik serta jadwal yang cukup, ada kemungkinan peserta Pemilu 2024 akan lebih banyak daripada Pemilu 2019, terutama di Aceh dengan keikutsertaan partai politik lokal. Kondisi ini akan memengaruhi kinerja penyelenggara serta menimbutkan kerumitan bagi pemilih.  

Fluktuatif peserta pemilu
Pendaftaran parpol sudah diatur sedemikian rapi dengan adanya aplikasi Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang sudah diperkenalkan dalam beberapa pemilu terakhir. Sipol menjadi langkah maju KPU dalam penertiban administrasi secara modern, kendati pendaftaran secara manual masih tetap dibutuhkan, sebab Sipol memang dimaksudkan sebagai alat bantu.

Di tengah adanya tudingan bahwa Sipol hanya sekadar formalitas sebab pada akhirnya KPU dan seluruh jajarannya tetap melakukan verifikasi administrasi dan faktual secara konvensional, keberadaan aplikasi tersebut tetap dibutuhkan sebagai bagian dari pembenahan sistem kepemiluan modern sekaligus alat menuju penyederhanaan peserta pemilu ke depan.

Jumlah peserta pemilu selalu fluktuatif di setiap periode. Setelah berakhirnya era tiga peserta pada Pemilu 1997, perubahan regulasi membuat pemilu pertama era Reformasi pada 1999 diikuti 48 partai politik. Para pemilih dan penyelenggara di tingkat bawah waktu itu begitu kesulitan melipat surat suara. Banyak surat suara robek ketika dimasukkan ke dalam kotak suara. Sistem perhitungan dan rekapitulasi yang serba manual juga membingungkan. Ditambah dengan sistem pengawasan yang lemah, Pemilu 1999 rawan dicurangi.

Pemilu 2004 yang mulai diselenggarakan penyelenggara di luar partai (independen), diikuti 24 parpol sehingga lebih sederhana. Namun, lima tahun kemudian jumlah peserta kembali membengkak menjadi 38 parpol.   Pada Pemilu 2014 kembali menurun menjadi 12 parpol dengan ukuran surat suara yang lebih kecil. Jumlah peserta kembali meningkat menjadi 18 peserta, termasuk empat parpol lokal di Aceh yang hanya mengikuti pemilu anggota DPRK dan DPRA. Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2009 ikut memengaruhi jumlah peserta Pemilu 2014.  Demikian juga pada Pemilu 2019 peserta menurun menjadi 16 parnas dan 4 parlok di Aceh (www.kpu.go.id).

Banyaknya partai politik serta partai politik yang menjadi peserta pemilu memang tidak dapat dihindari karena Indonesia menganut sistem presidensial multipartai. Regulasi memungkingkan pendirian partai politik menjadi lebih mudah, tetapi dengan sejumlah risiko ikutan, baik bagi penyelenggara maupun pertumbuhan demokrasi yang belum berada dalam garis orbit seharusnya.

Solusi regulasi
Penyederhanaan peserta pemilu melalui perubahan regulasi sudah dilakukan dengan berlakunya ambang batas parlemen 4 persen. Namun, ambang batas parlemen hanya berlaku untuk pemilihan DPR-RI sehingga banyak parpol tetap memiliki wakil rakyat di kabupaten/kota serta provinsi.  Parpol yang tidak lolos ke Senayan, tetap tumbuh di daerah, dan mewarnai pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Setelah mendapatkan pengesahan menjadi partai politik, menjadi peserta pemilu merupakan perjuangan lain yang harus dilakui. Setiap partai minimal harus memiliki kepengurusan di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Verifikasi yang dilakukan unsur KPU/KIP yang diawasi oleh Bawaslu serta masyarakat luas, menjadi penentuan nasib sebuah partai menjadi kontestan pemilu. Mendapatkan kursi serta lolos ambang batas parlemen  adalah perjuangan berikutnya yang mahaberat. Mendapatkan banyak suara di daerah pemilihan tertentu tetapi tidak tidak lolos ambang batas, sama seperti Timnas Indonesia yang menang besar di fase grup di Piala AFF baru-baru ini, gagal melangkah ke  semifinal karena kalah secara head to head dengan Thailand dan Vietnam.   

Banyaknya peserta pemilu berimplikasi luas yang tidak bersentuhan langsung dengan kualitas demokrasi. Langkah-langkah penyederhanaan jumlah peserta pemilu harus dilakukan dari sekarang karena berkaitan langsung dengan desain pemilu yang lebih mudah, cepat, terukur, serta mampu menekan biaya. Demokrasi memang membutuhkan biaya tinggi, tetapi penyederhanaan sistem dan peserta pemilu adalah keniscayaan.  

Ambang batas parlemen 4 persen tidak menyurutkan semangat politisi ununtuk mendirikan partai. Jika mengikuti pemilu sejak berakhirnya era tiga partai partai sejak Pemilu 1999 (diikuti 48 partai), terlihat adanya keseragaman. Partai politik lahir dan mati dengan wajah yang tidak jauh berbeda. Platform dan program tidak jauh berbeda, bahkan kasus yang menjerat politisi di dalamnya juga sama.

Meningkatkan ambang batas parlemen serta pemberlakuannya sampai ke daerah menjadi salah satu solusi jangka panjang yang perlu dipikirkan. Pilihan ini bukan untuk membunuh partai kecil, melainkan untuk meningkatkan profesionalisme peserta pemilu serta meningkatkan kualitas kepemiluan di Indonesia.

Perbaikan sistem
Fluktuasi peserta pemilu tidak terlalu mengherankan karena partai politik baru umumnya dibentuk oleh pemain lama yang hengkang dari parpol lama karena berbagai persoalan seperti kalah dalam pemilihan ketua umum, ada gesekan dalam dukungan terhadap pasangan calon presiden/wakil presiden, atau berbeda dukungan dalam pilkada. Perpecahan dalam suatu parpol akan melahiran parpol baru dengan platform yang tidak jauh berbeda. Penyelesaian konflik dengan hengkang dan mendirikan parpol baru menjadi tren di blantika politik Indonesia. Ada pecahan parpol yang kemudian berhasil, tetapi tidak sedikit yang gagal dan kemudian mendirikan parpol baru dalam pemilu berikutnya. Begitu terus siklusnya.

KPU bisa melahirkan PKPU yang lebih sederhana bagi peserta pemilu tanpa melanggar regulasi di atasnya. Peserta pemilu yang sudah mencapai ambang batas pada pemilu sebelumnya, tidak perlu menyerahkan berkas dan cukup pendaftaran melalui aplikasi Sipol saja. Mereka harusnya langsung menjadi peserta pemilu secara otomatis tanpa harus memulai dari awal.

Demikian juga dengan nomor urut peserta pemilu yang setiap pemilu berganti. Parpol yang lolos otomatis sebagai peserta karena mencapai ambang batass pemilu sebelumnya, bisa menggunakan nomor urut lama, tentunya dengan sedikit penyesuaian agar nomor peserta pemilu tetap berurutan dan mempertimbangkan keberadaan partai lokal di Aceh.

Masyakarat tentu masih ingat dengan banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 silam, sebuah tragedi lain dalam sejarah kelam demokrasi Indonesia. Penyelenggara kelelahan akibat banyaknya surat suara, pemilih, serta formulir yang harus mereka isi dalam waktu terbatas. Pemilu kelabu itu jangan sampai terulang lagi. Penyederhanaan jumlah peserta pemilu menjadi langkah awal menuju penyederhanaan sistem kepemiluan di Indonesia.   <ayi.jufridar@unimal.ac.id>

Sumber: Serambi Indonesia

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar