Pengingkaran Para Elit di Balik Kenaikan BBM

SHARE:  

Humas Unimal
Muh. Fahrudin Alawi. Foto: ist

Memori kolektif yang selalu hadir kembali di ingatan masyarakat Indonesia setiap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah tangisan Puan Maharani. Momen epik tangisan Puan itu terjadi tahun 2013 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. Saat itu, PDI Perjuangan tempat puan bernaung menjadi oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY. Kini, musim berubah, angin berganti. PDI Perjuangan menjadi partai pemenang pemilu dalam satu dekade terakhir dan mengantarkan Jokowi sebagai salah satu kader terbaiknya menduduki singgasana kepresidenan dua periode berturut-turut. Sementara Puan mengunci posisi ketua DPR.

Penguasa boleh berganti, tetapi kebijakan rupanya masih tetap itu-itu saja. Harga BBM kembali dinaikkan. Tetapi ada satu yang berubah, yakni Puan tidak lagi menangis. Alih-alih kembali menangis karena merasa senasib sepenanggungan dengan rakyat yang makin terhimpit hidupnya akibat kenaikan harga BBM. Puan justru sedang bahagia. Puan bersama elit DPR lainnya ‘berpesta’ merayakan ulang tahun sang ketua di gedung parlemen. Persis ketika pada saat bersamaan, buruh dan mahasiswa berdemonstrasi memprotes kenaikan harga BBM tidak jauh dari gedung wakil rakyat yang terhormat. Sebuah pemandangan yang paradoks dan ironis.

Momen kenikan BBM ini bukan semata tentang tangis Puan yang hilang. Tangisan Puan atas kenaikan BBM di masa lalu yang kontras dengan responnya hari ini merepresentasikan kultur berpolitik kita secara umum di permukaan. Elit politik mendeklarasikan diri dekat bersama rakyat tergantung posisinya. Apakah sedang memegang kekuasaan atau beroposisi. Selain itu, kebersamaan elit bersama rakyat juga tergantung momen politik apa yang sedang berlangsung.

Perekonomian rakyat baru mencoba merangkak bangkit kembali setelah dilanda badai pandemi. Kita semua tahu betapa porak porandanya tatanan perekonomian ketika dihantam pandemic Covid-19 . Orang-orang kehilangan pekerjaan, PHK  massal terjadi di mana-mana, usaha UMKM gulung tikar. Kondisi ini menyebabkan kenaikan harga BBM kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Pertanyaannya kemudian apakah situasi sulit kehidupan rakyat seperti ini tidak terbaca oleh pemerintah? Ke mana suara lantang para elit politik yang berlomba-lomba mengklaim diri berjuang membawa aspirasi rakyat?    

Kenaikan BBM ditelan isu politik

Kita sudah diambang memasuki tahun politik. Momen di mana persoalan urusan publik menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari rakyat dikesampingkan, Sementara urusan kepentingan politik para elite jadi prioritas utama. Para politisi sibuk dengan urusan kepentingan partai dan kelompok masing-masing. Ada yang sibuk konsolidasi merancang strategi menambah jumlah kursi parlemen. Ada pula yang sibuk mengurai perpecahan mencegah dualisme kepengurusan partai. Ada yang sibuk menjaring kandidat yang akan diusung jadi calon presiden. Bahkan ada yang saling jegal sesama rekan di partai untuk mendapatkan tiket bertarung di gelanggang pemilihan presiden.

Setiap hari media sebagai ruang publik mempertontonkan safari politik para elit melakukan penjajakan koalisi partai mengusung duet pasangan calon presiden dan wakil presiden. Saling sindir antar ketua umum partai jadi bumbu penyedap. Sementara para kandidat bersama timnya memeras otak mendongkrak elektabilitasnya. Sebuah surplus transaksi politik yang dipertontonkan dengan penuh akrobatik seakan semua proses itu semua demi rakyat.

Kenaikan harga BBM bertepatan dengan musim penjajakan koalisi untuk kepentingan Pilpres 2024. Kenaikan BBM seharusnya menjadi panggung para kandidat menunjukkan kualitasnya. Tentu tidak sekedar berjanji tidak akan menaikkan BBM jika terpilih karena janji semacam ini sudah basi dan klise. Pengalaman mengajarkan kita soal janji-janji manis musim kampanye. Apa yang diucapkan tidak selalu selaras dengan apa yang dikerjakan. Terutama janji tidak menaikkan harga BBM.  Momentum kenaikan BBM mestinya jadi panggung gratis bagi para kandidat untuk mengeksplorasi gagasannya tentang persoalan klasik ini. Ini peluang emas bagi partai mau pun individu yang sedang persiapkan diri bertarung di pemilihan presiden 2024. Namun, sayang seribu sayang. Semua seakan bungkam tidak peduli. Entah takut menyinggung elit politik tertentu supaya tidak gagal dapat tiket partai. Atau mungkin gap pengalaman merasakan persoalan hidup sehari-hari yang terlampau jauh antara rakyat dengan elit politik sehingga tidak punya empati terhadap efek domino kenaikan BBM. Nama-nama yang dianggap punya peluang jadi calon presiden seperti Anis Baswedan, Prabowo, Erick Tohir, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan lain-lain irit bicara tentang bagaimana solusi menghindari kenaikan BBM.

Partai politik pun setali tiga uang. Tidak ada gagasan radikal bagaimana solusi menghindari kenaikan harga BBM. Padahal, jika subsidi BBM terlalu membebani anggaran keuangan negara, menaikkan harganya bukan satu-satunya solusi. Masih ada solusi lain seperti mengurangi atau menghapus tunjangan pensiun DPR yang tidak masuk akal, mengurangi anggaran perjalanan dinas yang tidak mendesak, memangkas lembaga pemerintahan yang tidak produktif, dan lain-lain. Begitu juga jika subsidi BBM dianggap belum tetap sasaran, maka tugas pemerintah memikirkan caranya supaya tepat sasaran. Bukankah para pejabat digaji tinggi menggunakan pajak rakyat untuk mencari solusi dari persoalan klasik dan akut seperti ini?

Pada akhirnya, rakyat harus membangun solidaritas kolektif memperjuangkan aspirasinya. Demonstrasi elemen buruh dan mahasiswa menolak kenaikan BBM kiranya tidak berlebihan jika melihat efek domino yang ditimbulkan dari kebijakan ini. Berharap pada lembaga atau pejabat negara untuk menyuarakan penderitaan rakyat bukan pilihan tepat untuk kondisi saat ini. Apalagi menjelang tahun politik. Rakyat harus membangun mosi tidak percaya pada para politisi yang tidak konsisten berjalan di jalur perjuangan rakyat. Ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatan oknum-oknum politisi menjadi catatan bagi rakyat sebelum memilih mereka. Baik itu di posisi eksekutif atau legislatif. Siapa yang tidak punya gagasan membantu rakyat keluar dari jerat kemiskinan memang tidak layak dipilih jadi pemimpin.           

Muh. Fahrudin Alawi, Dosen Prodi Antropologi, FISIP Universitas Malikussaleh

Dimuat pertam kali di Detik.com, 27 September 2022


Kirim Komentar