Elegi Pengelolaan Lingkungan Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasah dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Foto: Ist

UNIMALNEWS - Kesempatan perjalanan dinas ke Bali selalu memberikan kesan yang mendalam. Sangat tepat jika Bali disebut sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Hal ini bukan semata pada aspek infrastruktur ekonominya, tapi juga pada aspek lainnya seperti keramah-tamahan masyarakat, eksotika budaya dan tradisi, dan juga pengelolaan lingkungan hidup. Di Bali sangat jamak ditemukan pohon kota yang menjulur dan menutupi ruas jalan sehingga publik terlindung dari terik matahari.

Jalan-jalan protokol di Bali dipenuhi pohon besar, menandakan adanya perawatan secara terus menerus. Salah satu tempat yang  paling mengesankan adalah Lapangan Puputan Nitimandala Renon, Denpasar, yang menjadi alun-alun utama Bali. Ia menjadi landmark kota yang selalu dikenang oleh wisatawan mana pun yang pernah mengunjunginya. Bali sendiri dikenal memiliki banyak ruang terbuka hijau (RTH) dan juga menjadi tempat rekreasi murah-meriah bagi warga Bali dan wisatawan.

Penulis sendiri telah dua kesempatan selalu menyempatkan diri berolahraga di Lapangan Puputan Renon. Luas lapangan yang juga dikenang sebagai tepat bersejarah dalam perlawanan masyarakat Bali atas kolonialisme Belanda hampir dua kali Lapangan Blangpadang, Banda Aceh. Bedanya, Lapangan Puputan banyak ditumbuhi aneka pohon besar yang membuat udara segar selalu menyergap.

Selain Monumen Bajra Sandhi, tidak ada bangunan lain yang dibuat di lapangan yang memiliki empat buah trek jogging. Setiap trek selalu ditawan dengan jajaran pohon-pohon dan di setiap sudut terdapat pohon beringin besar. Pohon beringin menjadi tempat meletakkan canang, semacam sesajen untuk memohon keberkatan. Ada konsep spiritualitas dalam keyakinan Bali bahwa pohon menjadi tempat sakral, yang tak boleh seenaknya dipotong dan dicacah.

Kontradiksi di Serambi Mekkah

Berbeda dengan Aceh, pengelolaan lingkungan di Serambi Mekkah semakin hari semakin ceroboh. Setelah terus mendapat krtik karena abai tanggung jawab dalam mengelola hutan dan alam hayati seperti pembangunan ruas jalan di kawasan konservasi Leuseur dan Ulu Masen, Aceh juga terus melakukan deforestasi yang tidak terlindung oleh hukum. Seperti banjir besar yang terjadi di Aceh Tenggara tahun lalu ditengarai karena rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat penebangan pohon-pohon yang menjadi penyangga sungai. Lebih 745 ribu hektar lahan di sepanjang DAS Alas telah rusak dan 37 ribu hektar berada pada situasi sangat kritis (Serambi, 8/12/2018).

Daerah lain pun demikian pula. Yang paling menyedot perhatian pada hari-hari ini adalah penebangan pohon kota sepanjang Meunasah Baet hingga Lambaro di Aceh Besar. Penebangan pohon kota ini "hanya" menjadi indeksial dari deretan politik perusakan lingkungan yang terjadi di kabupaten yang termasuk tiga besar di Aceh ini.

Penulis sendiri pernah terlibat riset tentang pemetaan demokrasi di Aceh Besar, terlihat bahwa problem yang dialami bumi Teuku Panglima Polim ini bermuara pada buruknya tatakelola pemerintahan (bad governance) sehingga berdampak sendengnya pengelolaan ekologis. Pembalakan lingkungan tidak hanya terjadi di wilayah yang jauh dari pandangan seperti di Taman Hutan Raya Pocut Meurah yang kini sebagian telah beralih fungsi sebagai perkebunan kakao dan pisang dari sebelumnya hutan pinus yang menyejukkan, juga di wilayah-wilayah publik seperti pohon jalan. Setelah pohon jalan di sepanjang jalan Montasik-Samahani yang hilang akibat pelebaran jalan kini kanopi jalan sepanjang Meunasah Baet hingga simpang Lambaro hilang kerontang.

Pembegalan (bukan pemamprasan ranting dan daun secara selektif) membuat situasi menjadi panas, dekil, kacau-balau (karena ada pengalihan jalur kenderaan), dan berantakan. Segalanya tidak terlihat sebagai sebuah perencanaan pengelolaan pohon jalan dan taman kota secara benar. Lebih mirip aksi premanisme atas lingkungan. Tentu protes publik kalah cepat dengan aksi perusakan pohon kota yang melibatkan instansi pemerintah yang seharusnya melayani dan melindungi kepentingan publik.

Kontradiksi agama

Semakin aneh bin ajaib karena perusakan lingkungan itu tidak dilihat sebagai pelanggaran etik dan hukum paling serius dari kacamata pemerintahan dan agama. Pemerintah Aceh Besar misalnya,  mengaku menggalakkan tatakelola pemerintahan berbasis Syariat Islam, malah melakukan pelanggaran Syariat Islam paling serius dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Jika dikilas balik pada sejarah perang awal Islam misalnya, Nabi Muhammad SAW sangat melarang merusak bangunan, menebang pohon, dan meracuni air minum meskipun dianggap sebagai siasat perang. Bahkan dalam ekspedisi ke Syam, Khalifah Abubakar Ash-Siddiq kembali menyitir ayat Al Quran Surat Al Baqarah (11-12), "Jangan membuat kerusakan di muka bumi" dan berwasiat seperti Nabi untuk tidak menebang pohon kurma, membakar pohon, membunuh hewan ternak, dan merusak bangunan.

Apa yang dilakukan oleh Pemkab Aceh Besar ini malah bertentangan dengan filosofi hukum Islam atau Maqasid Syariah, bahwa setiap ijtihad pada pembangunan harus selalu memperhitungkan kemanfataan dan pelestarian alam (maslahah) dan menghindari katastrofi (mafsadah). Setiap ranting yang ditebang tanpa tujuan yang jelas adalah dosa. Bahkan dalam sebuah hadist riwayat Abu Daud disebutkan, "Barang siapa menebang pohon bidara yang menaungi Ibnu Sabil dan memperlakukan hewan ternak dengan zalim, maka Allah akan menuangkan air panas pada kepalanya di neraka".

Ini tentu kabar yang paling horor bahwa pemerintahan yang mengaku menjalankan Syariat Islam melakukan kebijakan kontradiktif terkait dengan kebijakan perlindungan lingkungan. Meskipun demikian rasionalisasi pada upaya perlindungan lingkungan hayati harus terus dilakukan. Jika landasan agama tidak mempan dalam mempengaruhi kebijakan alam lestari, maka harus dicari raison d'etre pada normatif hukum.

UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi asas utama nasional bahkan ius cogens, bagi pemerintah, baik pusat atau daerah, dalam menjalankan program go green. Norma hukum tentang pelestarian lingkungan harus dikedepankan, karena irisannya kerap berbenturan dengan kebijakan perindustrian, pertambangan, pertanian, perikanan, perkebunan, hingga kehutanan sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam harus menjamin keadilan bagi generasi ke depan untuk mendapatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan ekosistem.

Jika Pemerintah Aceh pernah menunjukkan sikap pembelaan atas kasus PT EMM yang mendapatkan respons luas, maka harusnya sikap itu konsisten pada seluruh isu lingkungan lainnya, tidak tebang pilih (Amrizal J. Prang, "Komitmen Pemerintah Aceh Menjaga Lingkungan", Serambi, 23/4/2019). Sikap pemerintah akan diukur sebagai sikap adil atas isu HAM, karena kasus seperti penebangan pohon jalan sebenarnya menjadi wujud pelanggaran hak pengendara kenderaan dalam mendapatkan udara segar. Sikap yang sama juga melingkupi pada isu yang kini ramai di media sosial, yaitu menolak tambang di Tanah Gayo.

Perusakan lingkungan secara brutal menunjukkan pemerintah daerah telah gagal memenuhi janjinya untuk menjaga warganya dari keamanan, kenyamanan, dan keselamatan secara jangka panjang. Bahkan kalau boleh ditelusuri ada banyak kecurigaan atas kebijakan elite lokal memberikan "izin merusak lingkungan" sebagai kamuflase kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan publik luas. Omong kosong jika publik suka dengan kebijakan perusakan lingkungan meskipun ditempelkan lipstik sebagai pembangunan dan kesejahteraan.

Penulis: Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP dan Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Dewan Pakar NU Aceh

Artikel ini telah tayang di Halaman Harian Serambi Indonesia Rabu (11/9/2019).


Kirim Komentar