Teuku Kemal Fasya
Sebagai manusia optimis, tahun 2024 ini haus disambut dengan gembira dan penuh semangat perubahan. Bahwa hidup harus berjalan semakin baik dan progresif.
Namun sebagai makhluk menyejarah (human historical), kita tentu realistis, bijak, dan belajar dari pengalaman, bahwa optimis saja tidak cukup. Kehidupan politik menjelang Pemilu 2024 masih penuh was was. Demokrasi elektoral sebentar lagi itu masih memberikan tantangan dan ancaman dibandingkan optimisme berkalung sorban.
Pelanggaran berulang kampanye
Untuk tahapan Pemilu 2024, praktik dan motif pelanggaran sudah terjadi bahkan jauh sebelum kampanye secara resmi diberlakukan, 28 November 2023. Salah satu hal paling nyata dari pelanggaran adalah menyebarnya alat peraga kampanye (APK) alih-alih alat peraga sosialisasi (APS) peserta pemilu. Meskipun demikian, konstruksi pelanggaran itu tidak terjadi tiba-tiba. Ia masuk dalam desain kepemiluan karena ambiguitas normativitas regulasinya.
Seperti kita tahu, daftar calon tetap (DCT) calon legislatif baru diumumkan KPU/KIP pada 4 November 2023. Sebelum tanggal itu, calon legislatif yang didaftarkan melalui partai politik baru dianggap masuk sebagai daftar calon sementara (DCS). Demikian pasangan calon presiden-calon wakil presiden baru ditetapkan dan diumumkan KPU pada 13 November 2023. Anehnya kampanye baru dimulai 28 November 2023 atau paling cepat 15 hari setelah penetapan calon presiden dan calon wakil presiden.
Akhirnya, pelanggaran kampanye Pemilu sudah terjadi sejak peserta pemilu ditetapkan. Tidak ada lagi yang mau patuh memulai kampanye pada 28 November 2023 karena semua ingin curi setar sebelum itu. Untuk caleg, sebagian besar telah mendapatkan nomor urut sejak DCS dan tidak berubah lagi pada saat penetapan DCT. Penulis sendiri sebagai warga negara sempat menguji apakah lembaga pengawas Pemilu, yaitu Bawaslu benar-benar menjalankan fungsi penegakan norma kepemiluan ini dengan benar atau tidak.
Kira-kira satu minggu sebelum penetapan masa kampanye, penulis melihat ada salah satu pasangan capres-cawapres telah mengepung kota Lhokseumawe dengan baliho dan spanduk yang kuat bernuansa kampanye. Saat itu di Lhokseumawe memang sedang dilaksanakan kegiatan Sarasehan Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Komisariat Wilayah I. Salah satu pasangan capres-cawapres langsung pamer dukungan kepada pemerintah kota atas pelaksanaan sarasehan nasional itu melalui spanduk dan baliho.
Bagi penulis, sikap dan dukungan capres-cawapres itu adalah bagian dari kampanye, sekaligus pelanggaran karena berupaya meremukkan independensi Pj Walikota Lhokseumawe yang seorang Aparat Sipil Negara (ASN) untuk bersikap tidak netral dan adil. Penyebaran baliho capres-cawapres juga bukti pelanggaran masa kampanye, yang dapat dituntut delik pidana Pemilu (pasal 492 tentang kampanye di luar jadwal pada UU No. 7 tahun 2017) dengan ancaman pidana selama-lamanya 1 tahun dan denda maksimal Rp12 juta.
Kejadian itu langsung penulis laporkan pada 26 November 2023 ke kantor Panwaslih Lhokseumawe. Sikap staf yang melayani pelaporan cukup baik dan merespons pembuatan laporan kurang dari satu jam. Segalanya menjadi lega pada saat pendaftaran pelanggaran kampanye.
Namun, bagaimana endingnya? Laporan penulis ditolak dengan alasan kurang persyaratan formal dan material. Padahal ketika membuat laporan, penulis telah melengkapi dengan kronologi kejadian, pihak terlapor, bukti pelapor, dan dokumen pelanggaran (foto-foto). Nasib penulis sama dengan kelompok mahasiswa yang juga melaporkan pelanggaran itu ke Panwaslih sebelumnya: tidak diproses ke tahap selanjutnya.
Pelajaran apa bisa dipetik?
Pengalaman itu menunjukkan bahwa proses penanganan pelanggaran, terutama pada tahapan kampanye menjadi titik krusial dalam penegakan keadilan Pemilu. Hal paling kentara memang mekanisme penyelesaian pelanggaran Pemilu. Kita tidak mungkin mengharapkan segalanya tuntas dijalankan oleh Bawaslu/Panwaslih an sich kalau kultur politik untuk bersikap fair, jujur, demokratis, akuntabel, dan profesional belum terbangun.
Itu belum lagi dihitung skeptisisme atas peran KPU dan Bawaslu yang dianggap seperti menegakkan benang basah. Mereka sebenarnya sedang “menggenggam bara” penegakan aturan Pemilu yang memang sudah membara. Padahal upaya untuk menghadirkan Pemilu serentak pada dua momen: 14 Februari 2024 dan 27 November 2024 bukan perkara mudah. Ada banyak pertentangan, termasuk godaan untuk memajukan pelaksanaan Pilkada serentak nasional.
Hal itu belum lagi ditambah putusan kontroversial MK No. 90/PUU-XXI/2023 dalam memaknai pasal 169 huruf q UU Pemilu 2017 dengan sejumlah hakim MK yang memiliki opini berbeda (concurring opinion) dan ketidaksetujuan (dissenting opinion), sehingga Pemilu dengan rasa kekuasaan yang kental tak bisa tertolak. Puncaknya putusan MKMK yang menyatakan ada pelanggaran etik berat dalam menghasilkan putusan MK tersebut.
Sebagai manusia optimis, kita juga tak akan langsung menyerah dengan keadaan. Masih ada waktu kampanye hingga 10 Februari 2024 yang bisa dipantau oleh Bawaslu/Panwaslih dan masyarakat agar pelanggaran kampanye tidak semakin menenggelamkan momentum “pencoblosan kotak suara Pemilu terbesar di dunia dalam sehari” itu ke lubang neraka (“the world’s biggest single day election”, conversation, 5/8/2023).
Hal yang paling penting adalah konstruksi akuntabilitas dana kampanye, yang sampai hari ini dianggap tidak pernah teruji keabsahannya. Pemilu 2019 sudah menunjukkan bahwa pelaporan dana kampanye bersifat “tipu-tipu” dan Bawaslu pun tidak bisa beranjak lebih jauh dari parameter formalitas banal dalam menilai laporan dana kampanye peserta pemilu dan partai politik.
Bahkan PPATK sudah mengendus ada banyak dana haram yang akan disiram pada proses Pemilu, termasuk untuk membiayai politik uang dan kampanye media/massal (Titi Anggraini, 2023). Ini juga akan menjadi ujian apakah bisa diawasi dan dilaporkan atas pelanggaran itu atau hanya menjadi pesawat kertas yang ditiup-tiup dan dilempar-lempar. UU Pemilu memang memberikan ancaman tidak main-main untuk laporan palsu dana kampanye (pasal 497 UU 17/2017) dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun dan denda Rp24 juta. Pertanyaannya apakah lembaga pengawas Pemilu bisa menindaknya sehingga tidak menjadi presenden, terutama bagi yang kuat modal dan fanatisme pendukungnya?
Demikian pula tentang tempat-tempat yang dilarang untuk menempelkan bahan kampanye Pemilu sebagaimana dijelaskan di dalam PKPU No. 15/2023 pasal 70, bahwa pelanggaran sudah terjadi di semua lokasi larangan seperti a) tempat ibadah, b) rumah sakit, c) tempat pendidikan, d) fasilitas pemerintah, e) jalan protokol, f) jalan bebas hambatan, g) sarana publik, dan h) taman dan pepohonan. Yang paling menonjol pelanggaran adalah di pohon-pohon kota yang dipaku peserta Pemilu dan tim suksesnya, tanpa pernah merasa bersalah. Tempat kedua yang paling banyak dilanggar adalah rumah ibadah, karena dimaksudkan juga di situ halaman, pagar, atau tembok (pasal 70 ayat (2)). Ketika tulisan ini dibuat, penulis pun sudah mendata pelanggaran itu terjadi, terbanyak dilakukan oleh petahana.
Sebagai makhluk berdaya dan tidak pasrah, penulis yakin kita masih bisa menghalau berbalok-balok pelanggaran kampanye ini ke dasar jurang.
Teuku Kemal Fasya, dosen Fisipol Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Fasilitator demokrasi dan pemilu.
Dimuat pertama sekali di Serambi Indonesia, 12 Januari 2024.