Teuku Kemal Fasya
Semua menjadi tak sama lagi ketika melihat realitas dan “warisan” Presiden Joko Widodo pada Pemilu Serentak 2024 ini. Situasi kebatinan bangsa merasakan ada sesuatu yang mengharu-biru. Mungkin nuansa lirih lebih mengemuka dibandingkan suka-cita ketika dihubungkan dengan transisi reformasi menuju demokrasi terkonsolidasi.
Semua enigma berhulu sejak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu No. 7/2017 tentang ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden. Putusan itu bertransformasi menjadi bentangan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka, anak tertua Jokowi untuk mendampingi Prabowo Subianto; mantan Pangkostrad dan juga menantu Soeharto, desainer utama Orde Baru.
Takdir politik
Garis takdir politik pun bergerak sedepa demi sedepa. Kini tahapan Pilpres kita telah memasuki masa kampanye. Tapi lagi-lagi perjalanan kampanye membuat pilu, sebab berjalan tidak seimbang bagi semua calon presiden/wakil presiden.
Calon nomor urut 2 Prabowo/Gibran dalam perjalanan kampanye kerap mendapatkan perlakuan istimewa, baik oleh fasilitas yang dimilikinya atau pun karena tidak adanya sanksi tegas atas pelanggaran yang dilakukan.
Yang paling mencolok ketika adanya dugaan pelanggaran pejabat negara setingkat menteri melakukan kampanye capres/cawapres tapi tidak melakukan cuti, apatah lagi mundur. Padahal itu diatur di dalam PKPU No. 20/2023 tentang Kampanye Pemilu dan diperkuat dengan PP No. 53/2023 tentang tata cara mengundurkan diri dan cuti bagi pejabat negara selama melaksanakan Kampanye Pemilu 2024.
Hasilnya, regulasi tentang aturan main Pemilu hanya jadi juntaian manik-manik. Tidak ada pejabat yang melakukan cuti. Mereka masih saja menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan politiknya. Contradictio in terminis! Kampanye pun berjalan dengan pelanggaran dan kecurangan yang berulang, tanpa ada yang ditangani oleh Bawaslu.
Penulis sendiri sempat geram ketika ada menteri yang menjadi juru kampanye nasional melakukan kegiatan di kampus kami dengan alibi kuliah kebangsaan. Ia membawa embel-embel sebagai menteri.
Demikian pula kasus yang penulis laporkan ke Panwaslih Kota Lhokseumawe tentang pasangan capres/cawapres yang menyeret-seret asosiasi kepala daerah dalam kampanye mereka. Sayangnya, lembaga pengawas itu menyebutkan laporan itu tidak memenuhi syarat formal dan material sehingga tidak diteruskan ke tahap persidangan.
Namun, jika diinsyafi, kelemahan Bawaslu ini bukan semata karena keinginan mereka. Desain undang-undang memang memerosokkan lembaga pengawas pemilu yang hanya ada satu-satunya di dunia itu tetap kelu menjalankan perannya. Salah satu sebab karena masih ada ruang multitafsir dari UU Pemilu terkait pelanggaran peserta Pemilu.
Permasalahan berlipat karena faktor SDM komisioner kelembagaan permanen, seperti Bawaslu kabupaten/kota yang terlihat lebih lemah dibandingkan periode sebelumnya. Pelantikan serentak 1.912 anggota Bawaslu kabupaten/kota seIndonesia yang sempat mundur 20 Agustus 2023 lalu, juga dipenuhi aroma politik identitas, perkauman, dan transaksional, sehingga memengaruhi kinerja penangawasan Pemilu 2024.
Demikian pula dengan pasal tindak pidana pemilu. Sebagian besar pasal dari total 66 Tindak Pidana Pemilu (pasal 488-554 UU No. 7/2017) tidak pernah dipraktikkan di dalam momen pelanggaran krusial. Adanya alibi “restorative justice” malah menjadi ruang “permaafan” dibandingkan menegakkan keadilan Pemilu. Kasus bagi-bagi uang Gus Miftah dan dukungan raja-raja (kepala desa) Maluku kepada Gibran sebenarnya bisa ditindaklanjuti melalui pasal 523 ayat (1) dan pasal 490 UU No. 7/2017. Namun, tuntutan penegakan hukum malah seperti protes atas proyek geotermal di Dieng, cepat menguap tanpa usut.
Pemilu tidak netral
Titik krusial itu semakin bertambah ketika Jokowi mendeklarasikan ketidaknetralannya pada Pemilu 2024. Pernyataannya 24 Januari lalu di depan calon presiden Prabowo Subianto dan KSAD Maruli Simanjuntak di bandara militer Halim Perdanakusuma menjadi penanda unjuk kekuatan untuk Pilpres yang tinggal menghitung hari.
Memang pernyataan itu bisa bersembunyi dibalik kebolehan Presiden untuk ikut berkampanye selama tidak menggunakan fasilitas negara dan cuti di luar tanggungan negara (pasal 281 ayat (1) huruf a dan b UU No. 7/2017). Walaupun hal ini harus dikontraskan dengan larangan pejabat negara seperti hakim (termasuk hakim agung); ketua dan anggota BPK; gubernur, deputi gubernur, dan deputi senior Bank Indonesia; pejabat negara bukan anggota partai politik; TNI dan Polri; hingga kepala desa yang tidak mengotorkan integritas dengan berkampanye (pasal 280).
Artinya sebagai pejabat negara tertinggi harusnya presiden memberikan contoh kenetralannya, tidak malah mengikuti libido partisan politiknya. Etika politik harusnya menjadi hal yang terepresentasi pada sosok Jokowi, dibandingkan Machiavellianisme politik yang cenderung manipulatif dan berorientasi pada kekuasaan semata.
Secara semiotis dan politis, sikap Jokowi ini memberikan ruang pada ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri. Karakter ini tidak terlihat pada enam tahun pertama ia menjadi presiden, tapi menguat pada tiga tahun terakhir. Pada Mei 2023 lalu, telah terlihat gejala Jokowi yang semakin “otokrat” mengikuti selera populisme atas keberhasilan politik infrastrukturnya. Namun, di sisi lain ia semakin mengabaikan dorongan pada nilai-nilai demokrasi. Hal itu terbaca ketika ia diam atas wacana presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027.
Padahal jika dibaca hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 10 Desember 2023, 60% publik masih yakin Presiden Jokowi netral pada Pemilu 2024. Hanya 28,7% meragukannya. Artinya, di benak publik, ketidaknetralan Presiden ketujuh itu bisa menjadi prahara demokrasi, bahkan mengganggu integritas bangsa, meskipun telah terang benderang “putra mahkota” maju sebagai calon wakil presiden. Survei Daya Insight malah lebih tragis lagi, 46,1% menganggap Jokowi akan cawe-cawe pada Pemilu kali ini (Medcom.id, 4/1/2024).
Artinya, “transformasi Jokowi” saat ini semakin menguatirkan untuk menyelamatkan reformasi melalui sikap produktif dan dialektis. Sebaliknya, sikap dan gramatologinya semakin mengarah pada model regresif, involutif, desepsi, hingga destruktif. Papan baliho yang mempromosikan istilah “Jokowisme” memang bukan sekedar glorifikasi, tapi realitas epistemik yang perlu dikaji. Ia tidak bisa lagi dilihat sebagai persona: seorang mantan pengusaha mebel dan walikota Solo yang memenangkan Pilpres untuk menyelematkan reformasi. Namun, ia telah menjadi paradigma, matra antropologi politik Indonesia kontemporer yang memerlukan sosok teknokratis dan ”orang kuat” daripada figur demokratis memimpin negeri bahari ini.
Majalah mingguan Amerika Serikat, Time, pada edisi Oktober 2014 menyambut pelantikan Jokowi dengan judul “A New Hope”. Saat itu dunia sedang menunggu harapan baru dari pemimpin yang bukan politikus membawa perubahan demokrasi dan kesejahteraan di negara Asia Tenggara ini.
Kini, sepuluh tahun kemudian, kita diuji oleh sikap berubah Jokowi. Maka, yang perlu diselamatkan saat ini bukan saja legasi pembangunan yang dihasilkannya, tapi juga rumah demokrasi yang telah kita rintis untuk menepis otoriterisme dan militerisme hidup kembali.
Teuku Kemal Fasya, dosen antropologi politik di Universitas Malikussaleh, Aceh. Penulis buku Sehat dan Sekarat Demokrasi (2023).
Dimuat pertama kali di Media Indonesia, 1 Februari 2024.