Teuku Kemal Fasya
Jika ditanyakan tentang siapa yang layak menjadi calon gubernur Aceh ke depan, selalu muncul jawaban platonis ala agamawan atau widyaswara. Semoga gubernur Aceh ke depan bisa membawa Aceh keluar dari keterpurukan ekonomi, lembah pengangguran, dan ketertinggalan pendidikan. Sosok gubernur itu harus bisa memperkuat kewenangan lex specialis dengan UUPA dan MoU Helsinki. Sosok itu musti dari kalangan pejuang, amanah, pintar, komunikatif, dan religius.
Sayangnya, jawaban das Sollen itu hanya menjadi kumparan etika dan moral dan bersifat “seharusnya”. Dalam politik praksis hal itu cocok sebagai harapan dan bukan realisasi. Dengan pelbagai faktor yang ada, semakin sulit menemukan sosok gubernur itu di dunia kehidupan (Lebenswelt) Aceh. Analisis politik biasa sangat jarang menggunakan kerangka “seharusnya”. Yang diperlukan dalam analisis politik (seperti juga analisis sosial-ekonomi) adalah basis material realitas, untuk menilai out put dan dampak perubahan ke depan.
Memperluas kemungkinan
Cara paling baik adalah membuka horizon, cara pandang, tentang siapa yang mungkin untuk bisa maju sebagai calon gubernur/wakil gubernur, baik melalui jalur partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan.
Yang telah jelas bisa maju secara prosedural dari jalur non-koalisi adalah Partai Aceh (PA), dengan menyorong tokoh paling berpengaruh di partai eks kombatan itu, yaitu Muzakkir Manaf (Mualem). Partai lokal ini meraih hasil cukup positif pada 14 Februari 2024 lalu dengan mendapatkan 20 kursi dari total 81 atau 24 persen.
Hasil ini tentu mengejutkan dibandingkan pada dua Pemilu sebelumnya (2014 dan 2019) ketika partai eks kombatan itu mengalami penurunan suara signifikan (29 kursi pada 2014 dan 18 kursi pada 2019). Bintang terang mereka terjadi pada pemilu pertama (2009), ketika berhasil meraih 33 kursi dari 69 slot untuk DPRA saat itu atau 47 persen.
Namun, terlalu percaya diri melenggang sendirian juga berbahaya. Pertama, pengalaman Pilkada 2017 ketika Mualem yang merupakan petahana maju, ia malah dikalahkan mantan gubernur Aceh periode 2007-2012, Irwandi Yusuf.
Memang situasi untuk Pilkada seperti juga Pilpres memerlukan koalisi antarpartai untuk menentukan sukses agregasi. Jika mau direfleksikan pada pengalaman Pilpres 2024, partai yang merasa tidak perlu koalisi (PDI-P), malah terjengkang hingga terlentang. Rekan koalisi malu-malunya (PPP) malah tidak lolos parlemen. Koalisi partai-partai politik akan menjadi cermin penguat dalam kontestasi Pilkada melalui dampak ekor jas (coattail effect).
Kedua, peruntungan Mualem jika tanpa menggaet sosok atau partai yang memiliki kekuatan elektoral juga akan tipis untuk sukses. Kita bisa melihat bagaimana anjurannya untuk memenangkan Prabowo-Gibran hanya menjadi “hembusan angin”, hanya 24,4 persen pemilih sah. Itu persis suara pemilih PA pada Pileg 2024 untuk DPRA. Hal yang sama bisa dilihat pada suara PDI-P dan Pilpres Ganjar-Mahfudh yang hampir identik, yaitu 16,72 persen untuk Pileg dan 16,47 persen untuk Pilpres.
Faktor lain yang bisa dimajukan sebagai calon gubernur/wakil gubernur Aceh 2024 adalah para ketua partai politik yang cukup sukses pada Pemilu lalu. Teuku Taufiqulhadi dari Nasdem yang memperoleh 10 kursi DPRA, T.M. Nurlif dari Golkar (9 kursi), dan Irmawan dari PKB (9 kursi) layak dimunculkan sebagai sebagai calon gubernur. Bahkan Muslim sebagai ketua DPD Demokrat (7 kursi) pun boleh menjadi kemungkinan calon gubernur alternatif, di tengah prahara dan dilema partainya.
Alasannya, para ketua itu telah mengalami pelajaran paling penting dalam mengelola politik kepartaian dengan segala dinamikanya. Dengan beragam tekanan mereka berhasil menjaga keseimbangan sehingga cukup sukses di tengah sistem multipartai ini. Kredit khusus layak diberikan kepada Nasdem dan PKB yang mendapatkan keuntungan ekor jas menjulang sebagai pengusung Anies-Muhaimin pada Pilpres lalu. Golkar yang menjadi pendukung Prabowo pun tidak tergerus suaranya, penanda kematangan dalam berpolitik sejak Orde Baru.
Untuk ketua partai-partai menengah-kecil seperti Gerindra, PPP, PAN, dan PKS bisa meramaikan untuk bursa calon wakil gubernur. Bahkan Fadhullah (Gerindra), Illiza Sa’aduddin Djamal (PPP), dan Mawardi Ali (PAN) bisa saja menjadi kuda hitam jika memiliki basis koalisi tepat.
Memajukan orang partai dibandingkan “tokoh luar” adalah penguatan infrastruktur demokrasi. Sejak model Pemilu berubah kepada proporsional terbuka dan calon perseorangan memungkinan maju pada Pilkada, kecenderungan memajukan sosok populer dibandingkan sosok berkeringat di partai politik semakin besar. Pilihan itu yang menyebabkan partai-partai yang awalnya dibentuk dengan idealisme perubahan dan strategi kader seperti PAN, Gerindra, dan PDIP tak kuasa untuk menolak bursa saham politikus artis dan selebritas untuk masuk. Ternyata artis-artis itu pun berhasil mendapatkan kursi. Faktor kekayaan menyebabkan mereka bisa membiayai politik (political budget cycle) secara mandiri tanpa gila ketika kalah.
Faktor selebritas
Faktor kepopuleran (selebritas) sebenarnya ikut memengaruhi model agregasi politik pada tiga periode Pemilu Indonesia terakhir. Menonjolnya sosok Haji Uma (H. Sudirman) dalam demokrasi elektoral di Aceh adalah fenomena tersendiri. Suaranya bahkan lebih besar dibandingkan suara calon presiden di Aceh, adalah dampak lain politik menoleransi selebritas.
Siapa sangka artis yang terkenal konyol dalam film Empang Breuh sebagai ayah Yusniar bisa menjadi pemenang telak, di atas suara calon presiden Jokowi pada Pilpres 2019 dan Prabowo pada 2024.
Fenomena itu tidak baru. Dedi Mizwar, Rano Karno, dan Dede Yusuf sudah lebih dahulu merintis di jalur politik dengan modal artis. Desi Ratna Sari dan Rieke Diyah Pitaloka mekar seiring jalan politik Haji Uma. Namun, ia tidak aji mumpung. Ia semakin matang sebagai senator, termasuk semakin piawai menyalin dramaturgi politik. Kini namanya semakin digadang-gadang sebagai calon gubernur dari jalur independen.
Sosok populer non-partai lain yang juga telah dilihat masuk bursa calon gubernur adalah Nezar Patria. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika ini juga mulai disebut-sebut bisa menjadi calon gubernur alternatif dengan pengalaman aktivis dan profesionalnya sebagai pemred The Jakarta Post, Direktur Kelembagaan PT Pos, dan komisaris PT Pegadaian (Persero). Demikian pula beberapa akademisi yang dianggap bisa menjadi kandidat calon gubernur/wakil gubernur. Kebesaran nama mereka terbantu oleh peran media massa dan netizen.
Dampak selebritas ini memang memberikan pengaruh yang kompleks, apalagi di era revolusi industri informatika dan digital. Para warga demokratis (citizen) telah lama bertranformasi menjadi netizen, dan kini telah menjadi sekumpulan “masyarakat” media digital/media sosial berbasis budaya konsumeristik. Mereka bisa ikut dalam mendukung atau menyerang seseorang dengan selubung algoritma dunia digital, tanpa pikir panjang atau merasa bersalah. Maka tak heran, banyak artis hingga komedian menjadi politikus serius yang “menggelitik” dunia seperti Joseph Estrada, Arnold Schwarzenegger, Donald Trump, dan Volodimir Zelensky.
Akhirnya, beberapa sosok yang tidak sempat diulas panjang di tulisan ini, bukan berarti tidak layak. Minimal kans mereka terdaftar dalam kaleidoskop Pilkada Aceh 2024 sebagai calon wakil gubernur, seperti Darwati A. Gani, Nasir Djamil, Prof. Samsul Rizal, atau Prof. Adjunc Marniati.
Teuku Kemal Fasya, Antropolog politik Universitas Malikussaleh.
Telah dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 13 Mei 2024.