Prabowo, Gaza, dan Opresi Global

SHARE:  

Humas Unimal
Dr Teuku Kemal Fasya, M.Hum

Teuku Kemal Fasya

Tak ada debat, pidato Presiden Prabowo Subianto pada sidang umum ke-80 Majelis Umum PBB, 23 September 2025 menggelegar dan mengejutkan dunia. Ia menjadi pembicara ketiga setelah presiden Brazil, Lula da Silva, dan Presiden AS, Donald Trump, yang mendapatkan jatah bicara selama 20 menit.

Penulis tidak sempat mendengar pidato Lula da Silva. Namun kurangnya gemuruh tentang pidato salah satu negara pendukung aliansi ekonomi-politik BRICS itu menjadi penanda kurang cukup menggigit. Penulis hanya sempat menyaksikan pidato Trump yang lebih panjang dari jatah yang diberikan. Terlihat sangat datar, kurang darah, normatif, dan absurd terutama tentang kondisi terakhir di Gaza.

Namun, pidato Prabowo seperti pidato Soekarno. Diksinya adalah pemihakan yang jelas atas nasib salah satu staleless citizen paling tertindas di dunia (the most persecuted people in the world),  setelah Rohingnya. Memang selama dua dekade julukan itu diberikan kepada etnis yang tinggal di Myanmar dan sebagian besar kini telah mengungsi ke Cox’s Bazaar, Bangladesh itu. Namun, dalam waktu dua tahun, penduduk Gaza menjadi paling pilu di dunia dengan pembunuhan lebih 65 ribu jiwa dan 150 ribu luka-luka. Sebagian besar terbunuh tanpa nisan: anak-anak, perempuan, dan orang tua.

 

Penanda derita

Sebelum naik ke podium General Assemby Hall, New York itu, sosok Prabowo sudah diulas media. Posisinya di urutan ketiga adalah kehormatan tertinggi setelah Brazil sebagai pembuka pidato sejak 1955 dan AS sebagai tuan rumah. Bahkan urutan pidato Prabowo lebih tinggi dibandingkan seluruh kepala negara Indonesia sebelumnya. Soekarno hanya berada di urutan ke-46 ketika dulu berpidato. Demikian pula Soeharto yang berada di urutan 61. Megawati di urutan 17 dan SBY yang sempat 3 kali pidato berada di urutan 20, 21, dan 16.

Mantan presiden Jokowi tidak pernah berpidato selama menjadi presiden. Ia hanya dua kali menjadi pendengar secara daring di gedung PBB itu. Kemungkinan karena politik Jokowi lebih mementingkan dalam negeri dibandingkan politik global.

Pidato Prabowo menjadi penanda bukan saja atas derita masyarakat Palestina, tapi juga merujuk pada konteks kelahiran PBB, 1948, yang bertujuan menciptakan situasi setara antar-umat manusia.  “Semua manusia diciptakan setara” adalah prinsip yang membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Aksi wicara Prabowo mengingatkan kembali pada sejarah kelahiran lembaga Liga Bangsa-bangsa itu dan referensi pada hari ini. Bahwa mendiamkan kejahatan kemanusiaan paling parah setelah perang Dunia II itu sama sekali tidak dapat ditoleransi akal sehat. Kehadiran PBB sesungguhnya menolak berulangnya kejahatan yang pernah dilakukan Hitler, Stalin, Mao Zedong, atau Vlad the Impaler, salah seorang pemimpin Rumania yang terkenal bengis terhadap penduduk Ottoman dan muslim Bulgaria. Si penjagal yang anti-Islam itu rela membunuh 20 ribu orang-orang secara langsung, baik dengan pisau, pedang, atau tongkat kayu. Ia rela membutakan, merebus, membakar, menguliti, dan tentu menusuk (impale) korban-korbannya.


Pidato Prabowo juga bukan pidato spontan. Siapa pun yang berbicara di gedung PBB  pasti membuat teks sebagai panduan atau bacaan. Namun, Prabowo tidak didekte oleh naskah pidato. Ia refleks menggebrak meja hingga delapan kali, mewakili semangat bangsa-bangsa yang terjajah di dunia dan tak kunjung mendapatkan perhatian, seperti Palestina, Kashmir, Kurdi, atau Sahara Barat. Di awal pidatonya, Prabowo menyinggung kesetaraan manusia. Ia menekankan semua manusia berhak untuk hidup mengejar kebebasan dan kebahagiaan.

Kata “the pursuit the happyness” adalah kata-kata yang bernyala, yang pernah digunakan Will Smith dalam filmnya dan menjadi preambule Deklarasi Kemerdekaan A.S. “Kita bisa berbeda ras, agama, dan kebangsaan, tapi kita berkumpul sebagai satu keluarga manusia. Kita sebagai sesama manusia diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut (unalienable rights) untuk hidup, menghirup kebebasan, dan mengejar kebahagiaan."
 

Parole kemerdekaan
Setiap kalimat yang diucapkan Prabowo, terlepas siapapun yang menjadi master mind naskah, menjadi narasi atas kesakitan bangsa Palestina, termasuk di Gaza.

Setiap kalimat yang diucapkan langsung terbentang diorama tangisan, keputusasaan, ketakutan, dan derita masyarakat Gaza yang terus dibombardir dan diasingkan dari kaca mata global. Instruksi Benjamin Netanyahu mempercepat agresi Gaza sejak 17 September 2025, menambah lagi pembunuhan anak-anak dan perempuan, termasuk masifikasi kelaparan, dan penghancuran bangunan-bangunan yang menjadi magnum opus kejahatan Israel.

“…kita didorong oleh konflik, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang semakin dalam. Setiap hari kita menyaksikan penderitaan, genosida, dan pengabaian yang nyata terhadap hukum internasional dan kepatutan manusia.”

Pernyataan itu tentu merujuk kepada realitas, petanda (signified) atas penderitaan masyarakat Palestina yang tidak terekam dan tervisualkan dalam media. Pembunuhan Anas Al Sharif, wartawan Al Jazeera bersama empat wartawan lainnya di rumah sakit As-Shifa, Gaza (10/8/2025), adalah target yang memang dilakukan Israel melengkapi kebohongan narasi tentang Hamas sebagai pengingkar kesepakatan dan pelaku teror.

Kesyahidan Al Sharif melengkapi 238 jurnalis yang tewas di Palestina sejak 7 Oktober 2023 dan sepenuhnya dilakukan dengan ideologi zionistik/apartheid Israel. Di bawah kendali IDF, Israel mengabaikan Konvenan PBB dan hukum humaniter internasional. Aksi melepaskan bom volume besar ke daerah padat penduduk secara frekuensif, pemaksaan warga keluar dari Gaza, strategi merusak logistik dan kelaparan massal, penghancuran rumah sakit, ambulans, rumah ibadah, sekolah, dan kamp pengungsian berpunktuasi pada diksi “genosida” yang diucapkan Prabowo.

Ide solusi dua negara (two state solution) yang disampaikan Prabowo juga bukan ide baru. Sejak awal konflik, bahkan di era Bill Clinton (1993) ide ini kembali digaungkan, tapi selalu ditolak Hamas. Sejak Deklarasi Balfour (1917), Hamas kesulitan menerima ide dua negara karena Israel telah mencaplok lebih 70 persen teritori kedaulatan Palestina.

Namun melihat mega destruksi sejak Oktober 2023, Hamas mulai setuju ide ini, meskipun sangat rentan karena berbatasan langsung dengan Israel. Namun ide ini ditentang oleh Trump, Netanyahu, dan negara-negara komprador Amerika Serikat yang tak lebih 10 negara itu. Padahal mereka harus melawan mayoritas, 157 negara yang setuju Palestina merdeka. Negara-negara loyalis Barat seperti Kanada, Australia, Perancis, dan Inggris yang awalnya menolak kemerdekaan Palestina kini bersikap setuju, apalagi melihat agresi 17 September 2025 yang sangat brutal.

Di atas itu semua, pidato Prabowo seperti hipnotis menyelaraskan kemerdekaan Palestina, mengirim pasukan perdamaian, dan menghentikan genosida. Pesan “anti opresi global” Prabowo seperti mengulang slogan anti-imperialisme Soekarno, sekaligus menampar jazirah Timur Tengah yang hipokrit seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, Bahrain, dan Mesir yang akhirnya kena karma berkoalisi dengan A.S.

 

Dr. Teuku Kemal Fasya, M.Hum, antropolog Universitas Malikussaleh.

Dimuat di Serambi Indonesia, 3 Oktober 2025


Berita Lainnya

Kirim Komentar