Oleh Teuku Kemal Fasya
Pada 20 Februari 2019, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh Lhokseumawe melaksanakan diskusi publik bertema “Titik Kritis Pemilu 2019”.
Para pembicara yang diundang adalah Ridwan Hadi, mantan ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan saat ini menjabat Direktur Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI); Aryos Nivada, direktur Jaringan Survei Inisiatif (JSI); dan penulis sendiri. Para peserta yang hadir di diskusi publik ini selain civitas akademika Unimal, juga relawan demokrasi, aktivis LSM, dan juga jurnalis (Serambi, 21 Februari 2019).
Seminar politik yang diinisiasi kampus cukup jarang dilakukan, paling tidak di Unimal. Beberapa kegiatan kepemiluan dan politik kerap disponsori pihak luar seperti politikus dan penyelenggara pemilu. Tentu agak kesulitan menarik pemikiran kritis terhadap pihak yang mensponsori acara. Pihak kampus selayaknya makin intensif mengadakan diskusi yang mengkritisi problem publik termasuk dimensi etika dari kekuasaan. Perbincangan yang menarik jarak dari dominasi politik dan ekonomi yang bisa meremukkan kebebasan masyarakat dan kelompok pinggiran harus dilakukan kampus, agar tetap bisa tegak sebagai blok sejarah (historical block).
Kritik demokrasi
17 April mendatang akan menjadi hari penting penyelenggaran demokrasi elektoral bagi bangsa ini. Hampir seluruh doa dan harapan publik menyertai agar pemilu kelima pascareformasi ini bisa berjalan jujur, adil, transparan, adil, dan demokratis.
Meskipun demikian, harapan juga tak boleh terlalu tinggi. Konteks demokrasi sebuah negara tidak pernah serta-merta hebat. Secara empris yang lebih sering terjadi malah dialektika negatif, ketika demokrasi yang muncul dengan menggebu-gebu malah tersungkur sendiri.
Mengutip dari pemikir Perancis Jean Francois Revel dalam buku Democracy Against Itself : The Future of the Democratic Impulse (1993), insular utama demokrasi berasal dari filsafat pemikiran Barat tidak serta-merta akan berhasil di seluruh dunia. Keberhasilam demokrasi sangat ditentukan pada kemampuan membuka sumbatan pemikiran pada hulu agar lancar di tingkat hilir melalui pemilihan model-model, kultur, dan sistem politik sebuah bangsa.
Deskripsi statistik di buku itu menyimpulkan, negara-negara dunia ketiga yang baru memilih demokrasi pada fase akhir abad 20 sebenarnya kerap melamun pada impian-impian lama yang nostalgik. “Kuman-kuman demokrasi (the germs of democracy) masih banyak memengaruhi pikiran masyarakat sipil dibandingkan yang mencoba berbaju demokratis”.
Menurut Revel, pada negara pasca-otoriter, apalagi ketika pengalaman otoriterisme itu sedemikian dalam menghunjam pikiran, akan menilai bahwa rejim yang menjalankan peran non-demokratis dianggap normal, daripada melakukan peran-peran demokrasi partisipatif. Kaum demokrat di elite kekuasaan pun tidak semuanya memiliki pandangan yang ideologis. Sebagian hanya kaum demokrat palsu yang telah begah dengan kekuasaan dan kehidupan sejahtera di era lama.
Sikap kritis – untuk tidak mengatakan sinis – Revel sesungguhnya baik untuk menjadi cermin dalam melihat pengalaman demokrasi kita 20 tahun terakhir. Salah satu yang harus dikritik adalah mekanisme demokrasi prosedural tidak serta-merta akan mengubah struktur dan kultur demokrasi bangsa. Indonesia menjadi contoh sempurna ekstrapolasi ide itu.
Pengalaman Pilpres keempat yang akan kita jelang sebentar lagi belum lagi memunculkan sikap pandai mengonsolidasikan demokrasi. Pilpres dan Pileg 2019 masih menjadi pertaruhan (La Pari) apakah berhasil memutus transisi demokrasi atau malah gagal dan kembali ke era pra-reformasi dengan kekuasaan yang menumpuk pada kaum plutokrat atau oligark.
Berulangnya titik kritis
Sebenarnya titik paling kritis dari pengalaman Pilpres 2019 adalah berulangnya cerita lama dari “pertikaian” orang-orang yang pernah bertemu. L’histoire se repete. Pemilu 2019 adalah cermin dekat pemilu 2014. De geschiedenis herhaalt zich, gambaran lama muncul kembali. Kejang-kejang pada trauma memori lima tahun lalu seperti tak hilang karena kandidat capresnya masih sama: Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Hanya berbeda pada cawapres yang tidak signifikan mengungkit suara.
Masalah kritis utama lainnya ialah masih mengalirnya informasi hoax, disinformasi, framing atas publikasi media, dan ujaran kebencian (hate speech). Ketegangan netizen terlihat pasca-debat kedua capres dan memenuhi media sosial. Memang harus diakui, walaupun politik literasi post-truth membesar pertama sekali terkait opini pilihan untuk keluar dari Uni Eropa di Inggris atau dikenal istilah Brexit, isu utama hoax masih agama dan politik. Model informasi ini menyirami media sosial di era post-truth ini.
Jika dulu penyebaran hoax dilakukan melalui media cetak Obor Rakyat dan buku Jokowi Undercover, saat ini upaya serupa akan kembali dihidupkan dengan rupa-rupa improvisasi. Namun sekarang poros utama pengembangan informasi hoax adalah media sosial. Revolusi industri informasi 4.0 terlihat tidak cukup sukses, karena adanya lompatan dari paradigma oral ke visual, tanpa matang pada budaya literal. Masyarakat kita masih penguping dan penggosip, bukan pembaca dengan penuh sadar pada fakta dan pengetahuan informatif.
Ada banyak pihak yang menyayangkan keberulangan ini terjadi. Andai tidak terjadi pembatasan presidential treshold dalam UU No. 7 tahun 2017 ketegangan tidak separah ini. Ibarat perulangan partai derbi antara Jerman melawan Belanda, Inter melawan Milan, atau Indonesia versus Malaysia, dendam lebih mengemuka dibandingkan sikap fair play. Ada banyak memori buruk tersangkut, akan mudah terpancing ketika represi alam bawah sadar politik memengaruhi kelompok pendukung atau tim sukses.
Titik kritis lainnya ada pada undang-undang pemilu itu sendiri. Undang-undang yang menggabungkan prinsip nilai dan norma yang terdapat di dalam undang-undang Pilpres, Pileg, dan Penyelenggara Pemilu itu malah menghasilkan undang-undang yang sangat bengkak, undang-undang dengan 573 pasal. UU ini pun telah digugat di MK sebanyak 28 kali sepanjang 2018! Beberapa prinsip di dalam undang-undang ini akhirnya layu pucuk sebelum berkembang.
PKPU No. 14 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD (kemudian berubah menjadi PKPU No. 26 tahun 2018) dan PKPU No. 20 tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang sebelumnya membatasi mantan napi koruptor akhirnya diputuskan Mahkamah Agung boleh ikut pada pemilu kali ini.
Belum lagi problem hukum tentang aturan pelaksana. Undang-undang mengamanatkan harus selesai paling lambat satu tahun setelah undang-undang dilaksanakan (pasal 572 UU. 7 tahun 2017), tapi kenyataannya produk hukum masih diproduksi ketika pemilu kurang seratus hari lagi. PKPU No. 1 hingga 5 lahir pada tahun 2019 bahkan baru hadir di publik pada minggu kedua Februari 2019. Belum lagi PKPU No. 3 tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara memiliki 565 halaman dan lebih seribu pasal. Bagaimana cara mensosialisasikannya kepada petugas penyelenggara pemilu hingga tingkat KPPS bahkan pemilih dengan waktu kurang dua bulan?
Hal yang juga mengemuka adalah problem tidak sinergisnya antara penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu. Dua lembaga ini berjalan dengan logika yang diametral. Seharusnya para penyelenggara memiliki prinsip yang sama, yaitu menyelamatkan momentum demokrasi ini, jangan sampai dibajak oleh “kelompok pengacau demokrasi” (the spoiler of democracy). Indikator ke arah sana terbuka lebar dan sempat disitir oleh Prof. Mahfudh MD menjadi kelompok yang akan merebut momentum di tikungan. Maka penting terutama intelejen negara untuk mendeteksi dan menangkal “penjahat-penjahat pemilu” yang bisa membahayakan bangsa.
Akhirul kalam, siapapun presiden yang terpilih, beberapa masalah besar masih akan terjadi dan tak mudah diselesaikan, apakah presidennya Jokowi atau Prabowo. Masalah luka-luka masa lalu dan kejahatan HAM, rekonsolidasi “kaum demokrat” di parlemen dan di partai, masa depan energi dan politik ekologi, politik ekonomi riil dan ekstraktif, dan keutuhan bangsa di tengah rayuan ideologi ektrem global harus menjadi perhatian utama.
Pemilu hanya langkah pertama penyelamatan bangsa. Setelah itu semua pihak harus bekerja sama menjaga keberagaman, multikulturalisme, dan keutuhan bangsa, sebagai salah satu negara dengan jumlah bangsa dan sub-etnik paling besar di dunia.[]
Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh. Sudah tayang di Serambi Indonesia tanggal 26 Februari 2019.