Zulfikar Mulieng dan Totalitas untuk "Raja Beras Merah"

SHARE:  

Humas Unimal
Alumni Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Zulfikar Mulieng, yang fokus pada pengembangan beras merah yang diberi label "Raja Beras Merah". Foto: Bustami Ibrahim.

TIDAK banyak orang yang bekerja sesuai dengan disiplin ilmu di bangku kuliah, tetapi Zulfikar adalah salah satu pengecualiannya. Setelah menyelesaikan kuliah di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh pada 2011, ia melanjutkan ke S2 di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB). Zulfikar Mulieng—begitu ia lebih dikenal—mulai menekuni karier sebagai Pak Tani dengan lebih serius. Lebih fokusnya, ia mengembangkan beras merah varietas baru lokal. 

Zulfikar mulai serius mengembangkan beras merah ketika melihat banyak orang berminat dengan beras merah, tetapi sulit mendapatkannya. “Alasan kesehatan banyak orang mencari beras merah. Jadi ini sangat prospektif di tengah tingginya kesadaran masyarakat sekarang terhadap aspek kesehatan,” ungkapnya kepada Unimal Magazine, baru-baru ini.

Berangkat dari sana, Zulfikar kemudian mengembangkan produksi beras merah yang diberi label “Raja Beras Merah”. Ayah tiga anak ini, terlibat mulai penanaman sampai panen. Dia tidak ragu-ragu terjun ke sawah meski ada beberapa orang yang mencibir; “Jauh-jauh kuliah hanya untuk turun ke sawah”.

Zulfikar mulai mengembangkan beras merah dengan lahan seluas 1.600 meter (masyarakat di Aceh Utara menyebutnya mah) di Kecamatan Syamtalira Aron.  “Saya serius mengembangkan beras merah karena sudah memiliki pasar yang jelas,” tambahnya. Pasarnya bukan hanya seputaran Aceh Utara, tetapi juga Lhokseumawe, Bireuen, Meulaboh (Aceh Barat), Aceh Timur, dan Banda Aceh.

Di tengah banyak sarjana yang ingin mendapatkan pekerjaan kantoran, Zulfikar malah senang berlumur lumpur. Ia terjun langsung ke sawah. Tapi berbeda dengan gambaran petani di masa lalu yang menggarap sawah dengan peralatan tradisional, ia mengelola sawah dengan peralatan modern.

Ia berinvestasi untuk peralatan pertanian modern antara lain dengan membeli alat penanam padi, rice transplanter, pada 2020. Dengan alat itu hanya butuh waktu satu jam untuk lahan seluas 1.600 meter. Sedangkan dengan cara tradisional, butuh delapan orang, termasuk dua orang yang mencabut bibit. Waktunya pun bisa lebih panjang.

Dengan peralatan itu, Zulfikar menyedikan jasa penanam padi dengan biaya sekitar Rp300 ribu untuk 1 mah. “Pengaruh terhadap produk, peranakannya lebih banyak. Jadi lebih berkualitas,” tambah suami dari Nurhaslita tersebut.

Membentuk Geupeubut

Untuk tujuan yang lebih idealis, Zulfikar membentuk gerakan Pemuda Berusaha Tani atau Geupeubut sejak 2018. Organisasi ini melakukan  penyuluhan, pendampingan, dan advokasi untuk petani. Geupeubut mendorong generasi muda untuk tidak ragu memilih petani sebagai profesi.

Menurutnya, tren sekarang, lebih banyak petani muda daripada petani tua. Petani muda lebih banyak memanfaatkan teknologi, mulai dari pembibitan sampai pemasaran. “Sekarang tidak capek lagi. Tidak harus nyangkul seperti dulu,” lanjut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Malikussaleh periode 2009 – 2010 tersebut.

Saat ini, Zulfikar juga sedang menggagas sebuah startup berbentuk aplikasi untuk pemasaran produk-produk pertanian dan semua informasi lainnya. Dengan apkikasi tersebut, petani mendapatkan informasi akurat tentang harga komoditi pertanian.   

Geupeubut juga melakukan penyuluhan dilakukan tersebar di beberapa wilayah dengan mengoptimalkan alumni Universitas Malikussaleh dan IPB di berbagai daerah di Aceh. “Kami  mengajak semua pihak bergabung untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” lanjut Zulfikar.

Dalam melaksanakan kegiatan tersebut,  Geupeubut tetap bermitra dengan instansi terkait seperti Balai Pelatihan Pertanian atau BPP. Menurutnya, penyuluh di lapangan dan pihak swasta dibutuhkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat.

“Banyak potensi pertanian di Aceh yang belum tergarap optimal. Kita memiliki lahan luas. Dengan sedikit dukungan pemerintah, sektor pertanian bisa menjadi sumber ekonomi yang menjanjikan, apalagi di tengah krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19,” katanya lagi.

Ia menyontohkan petani di Jawa yang bisa produktif meski dengan lahan sempit. Petani di Jawa memiliki posisi tawar yang kuat karena ada kelompok tani, tidak berjalan sendiri-sendiri. Peran kampus juga diharapkan lebih besar seperti di IPB yang memiliki desa binaan. “Di sini agak sulit karena berbagai faktor, termasuk budaya. Tapi bukan tidak mungkin dilakukan.”

Lelaki itu mengharapkan perguruan tinggi seperti Universitas Malikussaleh bisa berperan lebih dengan mendorong lahirnya Qanun Tata Ruang. Kampus harus menghasilkan inovasi baru untuk menghasilkan komoditi pertanian.

“Bukan hanya di Fakultas Pertanian, tetapi juga bisa di Teknik dan sebagainya. Inovasi hasil penelitian jangan hanya mengendap saja, sehingga kampus dianggap tidak hadir, tetapi harus dipatenkan,” tutup Zulfikar. [Ayi Jufridar]

 


Kirim Komentar