Darma Pendidikan bagi Keadilan Perempuan Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Fadhil Mubarak Aisma, mahasiswa STIS Ummul Ayman, Pidie Jaya. Foto: Dok.Pribadi.

Oleh Fadhil Mubarak Aisma

PEREMPUAN dan keadilan adalah dua kata yang sering dianggap kontras oleh masyarakat Aceh. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan seakan melahirkan tuntutan sosial tentang pantas atau tidaknya sebuah perilaku. Pada akhirnya, gender membuat perbedaan pada hak-hak, sumber daya, dan kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Katakan saja masalah merawat anak, rata-rata masyarakat Aceh mengklaimnya sebagai tanggung jawab seorang perempuan. Hal-hal yang berkaitan dengan domestik kerap dianggap sebagai peran perempuan sedangkan pekerjaan yang berkaitan dengan sektor publik dianggap sebagai peran laki-laki (Jumatil Huda, 2015). Perempuan masih mengalami ketimpangan dalam kaitannya dengan keadilan pada sosiokultural dewasa ini.

Keadilan pada dasarnya adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan hak-hak mereka. Diskriminasi pada hak-hak tersebut bersebab gender hingga saat ini masih terjadi bukan hanya di Aceh melainkan di seluruh dunia. Masyarakat Aceh secara kultural sudah menganggap bahwa perempuan menduduki posisi nomor dua dalam kasta masyarakat. Artinya perempuan tidak mendapatkan kesetaraan hak di masyarakat dalam hal sosial, ekonomi, maupun pembangunan. Stigma masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya punya tanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga. Minim sekali perempuan yang terjun dalam pembangunan negeri.

Kiprah dan Kedudukan dalam Masyarakat

Jika melihat sejarah perempuan Aceh, Cut Nyak Dien adalah contoh tokoh perempuan yang menakjubkan. Ia dengan sigapnya bisa mengambil kendali perlawanan Aceh terhadap kolonial saat suaminya, Teuku Umar, meninggal. Ia yang seorang perempuan bisa memimpin perlawanan melawan penjajah yang kekuatan tempurnya jauh di atas bangsa Aceh. Ini menggambarkan bagaimana potret perempuan Aceh masa silam. Kedudukannya setara dengan laki-laki, di mana perempuan tidak hanya bertugas dalam pekerjaan domestik melainkan juga bisa menjadi pemimpin perang selayaknya laki-laki.

Tokoh lain semisal Malahayati yang berhasil mengalahkan Cornelis de Houtman juga merupakan refleksi bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan Aceh dalam masyarakat. Henri Carel Zentgraaf dalam “Atjeh” mengaku takjub pada perempuan Aceh yang melawan ketika Belanda menginvasi Aceh. Ini membuktikan bagaimana peran serta kedudukan perempuan Aceh masa silam.

Dewasa ini, keadaan sosial-ekonomi yang berlaku dalam masyarakat menyebabkan lahirnya kesenjangan sosial dalam hal gender. Lalu sebenarnya apa penyebab dari ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami perempuan Aceh di era digital ini?

Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakadilan di tengah masyarakat. Di antaranya dan yang paling signifikan adalah pendidikan. Kaum perempuan Aceh sulit meraih keadilan karena mayoritasnya berpendidikan rendah. Ini juga disebabkan stigma masyarakat bahwa perempuan tak selayaknya berpendidikan tinggi karena hanya akan mengurus rumah tangga. Keahlian-keahlian seperti memasak seakan menjadi tolok ukur masyarakat dalam menentukan kualitas seorang perempuan. Padahal pendidikan adalah hal yang berhak untuk dikenyam oleh perempuan sama selayaknya laki-laki. Kemajuan bangsa adalah suatu keniscayaan dari terdidik dan terjunnya perempuan dalam pembangunan. Hal inilah yang diperjuangkan oleh R. A. Kartini masa silam.

Darma Pendidikan

Imran Rosyadi dalam “R. A. Kartini, Biografi Singkat 1879-1904” menceritakan bahwa di umurnya yang masih belasan tahun, Raden Ajeng Kartini sadar bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalur mutlak yang diperlukan untuk mengangkat martabat perempuan. Saat adat- istiadat jawa menganut sistem feodal-patriarki, Kartini terpaksa berhenti sekolah karena harus memasuki masa pingitan pada usia 12 tahun.

Namun bukan berarti kegigihannya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan berhenti di situ. Selama 4 tahun masa pingitan, Kartini belajar seorang diri. Ia juga banyak menulis surat dalam Bahasa Belanda kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Surat-surat itu di kemudian hari dikenal sebagai surat-surat Kartini yang berisi pembelaan terhadap perempuan yang tidak memiliki kebebasan dalam mengenyam pendidikan dan kebebasan lainnya.

Kartini sejak kecil sudah melihat bahwa kaum perempuan berada pada titik rendah dalam sosial masyarakat. Ia sendiri mengalami hal itu. Mulai dari perlakuan tidak sama antaranya dengan saudara laki-laki lain, maraknya pernikahan paksa bagi perempuan yang masih berusia 14 tahun, bahkan ia harus menerima nasibnya menjadi istri dari seorang bupati duda yang sudah mempunyai tujuh anak dan dua selir.

Yang diperjuangkan Kartini sejak kecil adalah kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Ia sadar hanya pendidikan satu-satunya jalan keluar yang bisa mengangkat martabat seorang perempuan. Dengan pemikirannya seperti ini, Pramoedya Ananta Toer menunjuk Kartini sebagai pemikir modern pertama Indonesia. Dengan pemikirannya itu, Kartini mampu mengubah kehidupan yang sama sekali tidak adil. Semuanya tak lain hanya dan hanya dengan pendidikan.

Hari ini kita tidak akan melihat perempuan-perempuan hebat kecuali ia berpendidikan tinggi. Najwa Shihab lewat startup Narasi TV membuktikan bahwa perusahaan yang biasanya dipimpin oleh laki-laki sebenarnya juga bisa dipimpin dan didominasi oleh perempuan. Equality (kesetaraan) yang berhasil ia akses tak lain adalah karena pendidikannya yang tinggi.

Bintang Puspayoga, menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, saat kunjungannya di Sekolah Perempuan Desa Neboelaki Kabupaten Kupang, NTT pada 3 Mei lalu berujar, “Sekolah Perempuan menjadi wadah penting dalam memberikan edukasi kepada para perempuan agar berani berbicara dan memahami apa saja hak-hak yang harus mereka perjuangkan.”

Ini membuktikan betapa pendidikan mengambil peran penting bagi perempuan dalam meraih keadilan (berita pada ssiaran pers di web resmi kemenpppa.go.id Nomor: B-141/SETMEN/HM.02.04/05/2021).

Mengutip kata Najwa Shihab, bahwa sukses berkorelasi positif untuk laki-laki, namun kerap berkorelasi negatif bagi perempuan. Menjadi sukses bukanlah hal biasa bagi perempuan. Stigma seperti inilah yang harus dilawan oleh perempuan Aceh. Karena saya percaya bahwa untuk mencapai berbagai macam kemajuan di suatu negeri, harus lebih dulu berhasil merdeka dalam pemikiran. Merdeka dalam arti tak lagi dikekang oleh mindset patriarki dan mindset kuno lainnya.

Stigma yang sudah mengakar pada masyarakat kita itu hanya bisa diubah jika realitasnya diubah. Sehingga akan membuat pemikiran masyarakat beradaptasi dengan pemikiran Aceh baru yang lebih bersahaja. Perubahan realitas itu dimulai dari pendidikan yang bermutu tinggi. Hal inilah yang membuat saya sampai pada kesimpulan: semakin perempuan terdidik, semakin mudah keadilan dicapai.[]

***

Fadhil Mubarak Aisma, mahasiswa STIS Ummul Ayman, Pidie Jaya. Artikel ini merupakan juara kedua Lomba Menulis Artikel “Semangat Perubahan Aceh Baru” 2021 yang digelar Universitas Malikussaleh, SKK Migas, dan Premier Oil Andaman Ltd A Harbour Energy Company.

 

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar