Noda Celup Kampanye di Kampus

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya. Dok : Ist

Teuku Kemal Fasya

UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu memang telah menjadi solusi atas pelaksanaan Pemilu 2019, tapi sekaligus menyimpan masalah. Masalah muncul karena undang-undang ini memiliki banyak kelemahan sebagai aturan berkepastian hukum, karena telah lebih 35 kali diajukan untuk uji materi (judicial review) sejak diluncurkan.

Sebagian besar hasil judicial review telah memoroti eksistensi pasal-pasal undang-undang yang mengompilasi tiga perundang-undangan sebelumnya itu (UU No. 42/2008, UU No. 15/2011, dan UU No. 8/2012). Muaranya karena problem “kecepatan” pengesahan memengaruhi kualitas sinkronisasi norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

Pertama kali judicial review dan paling dikenal adalah ketika UU Pemilu itu mencabut ketentuan di UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 57 dan 60 ayat (1), (2), dan (4) melalui ketentuan pasal 557 ayat (1) dan pasal 571. Saat itu pemohon dari Aceh menggugat dan MK mengabulkan sebagian melalui putusan No. 61/PUU-XV/2017 dan No. 66/PUU-XV/2017, sehingga terlihat ada banyak cucuran larva panas dari produk politik ini.

Masalah kini muncul sejak MK mengabulkan sebagian tuntutan pemohon judicial review pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu melalui putusan No. 65/PUU/XXI/2023. Putusan MK menyatakan perluasan norma melalui penjelasan pasal atas batang tubuh adalah kekeliruan konstitusional. Akhirnya MK memutuskan frasa baru : “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Artinya, perluasan penjelasan pada UU Pemilu itu dalam Lembaran Negara No. 182/2017 itu bertentangan dengan ketentuan 186 poin b UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, karena penjelasan undang-undang “tidak boleh memperluas, mempersempit, atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh”.

Putusan MK tentu tidak salah. Sebagai penjaga konstitusi, MK harus tajam dan tidak ragu meluruskan pembengkokan aturan undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Namun, diterimanya gugatan itu membuka polemik bagi penyelenggara Pemilu, KPU dan bagaimana Bawaslu dalam pengawasannya. Saat tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah bisa dipakai untuk kampanye, meskipun tanpa membawa umbul-umbul partai dan dengan eufemisme pendidikan politik, apakah bisa dipastikan pelanggaran etik Pemilu tidak terjadi?

Memang MK tetap memberikan pengecualian pada tempat ibadah. Tak ada toleransi untuk tempat ibadah sebagai tempat kampanye! Agresivitas politik bisa mengapitalisasi pesan-pesan teologis menjadi sumbu politik partisan dan pragmatis. Dengan kesadaran publik yang masih lemah mengabsorsi informasi, dogma agama bisa menjadi ruang cerai-berai untuk tujuan politik identitas. Pemilu 2024 bisa mengulang praktik politisasi agama dan politik identitas Pemilu 2014 dan 2019, serta Pilkada DKI 2017.

 

Hati-hati perbaiki PKPU!

Namun membuka ruang “pendidikan politik” bagi institusi pendidikan tinggi  dan fasilitas pemerintahan juga mengandung political hazards. Harus ada perhatian sungguh-sungguh untuk tidak membiarkan sekolah menengah menjadi target kampanye. Ada ancaman ketika keran kampanye dibuka oleh izin penggunaan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan, dan rektor atau kepala dinas tidak cukup cermat menggunakan kuasanya. Akan ada ketergelinciran berupa perdagangan pengaruh, aborsi kebijakan, dan “tribalisme politik” sang pemimpin.

Bola panas akhirnya ada di KPU. PKPU No. 15 tahun 2023 tentang Kampanye relatif solid dijadikan rambu melarang “apa, siapa, dan dimana diharamkam” berkampanye, meskipun sistem kognisi PKPU masih juga ambigu.

Ambiguitas terlihat ketika mendefinsikan kampanye. Pasal 5 PKPU No. 15 tahun 2023 menjelaskannya dengan nuansa platonis bahwa “kampanye adalah wujud pendidikan politik yang dilaksanakan secara bertanggung-jawab” dan “pendidikan politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih pada Pemilu”.

Masalah tidak selesai pada penjelasan ideal-platonik tapi pada realitas rasional-empirik, bahwa kampanye cenderung menjadi sublimasi pada agregasi peserta Pemilu untuk mendapatkan suara. Tak ada urusan parpol mendesain civic education jika gagal mengakumulasi suara, baik untuk citra partai maupun calon peserta Pemilu.

Maka tak heran, dengan tingkat pendidikan publik yang masih rendah, kampanye menjadi ruang hipnoterapi, agresi oral, retorika, provokasi, dan manipulasi kesadaran pemilih. Kita tentu masih ingat dengan kampanye di Aceh era lalu ada peserta Pemilu menjanjikan “Aceh akan setara dengan Singapura dan Arab Saudi”, atau menyelesaikan masalah irigasi dengan “menyembur air memakai helikopter”. Sesuatu yang berlebihan!

Kegamangan akan dihadapi baik oleh KPU dan Bawaslu ketika membuat demarkasi kampanye atau bukan. Demarkasi konsepsionalnya tidak merujuk pada penjelasan etimologis/konseptual, tapi pada kronologi waktu yang berkaitan dengan tahapan Pemilu. KPU dengan mudah bisa beralibi bahwa jadwal kampanye adalah tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Di luar itu adalah sosialisasi.

Padahal jika merujuk pada KBBI, kampanye diartikan sebagai “kegiatan yang dilaksanakan oleh partai politik atau calon untuk mendapatkan dukungan massa pemilih pada suatu pemungutan suara”. Bandingan dengan penjelasan terminologis sosialisasi, yaitu “proses belajar seseorang untuk mengenal atau menghayati kebudayaannya”.

Ada definisi lain tentang sosialisasi, yaitu “memasyarakatkan sesuatu agar dikenal, dipahami, dan dihayati”, yang tidak cocok dengan perilaku peserta Pemilu yang sudah memasang baliho dan spanduk dengan nomor urut dan tanda partainya. Kita bisa melihat bagaimana “sosialisasi” Partai Demokrat bersama dengan Anies Baswedan berubah 180 derajat ketika takdir politik berubah. Mereka harus segera mengubah “haluan sosialisasi” karena itu berpengaruh pada elektabilitas partai. Mereka pun mendekonstruksi diksi-diksi yang digunakan. Lalu masih adakah beda antara sosialisasi dan kampanye?

Pada situasi ini diharapkan kesadaran pimpinan perguruan tinggi dan pejabat pemerintahan untuk memberlakukan etik perizinan terhadap kampanye peserta pemilu pada insitusinya. Jika mengharapkan kehadiran capres/cawapres, anggota legislatif dan senat, serta kepala daerah untuk menjelaskan visi misi dan kerangka pikirnya, maka tak perlu difasilitasi oleh kampus. Beragam media digital dan siber bisa menjelaskan siapa yang maju ke panggung depan demokrasi elektoral itu.

Pada 2004 penulis pernah terlibat serial diskusi politik yang disebut “Sadar Pemilu” di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.  Kegiatan itu bertujuan memberikan pencerahan kepada publik tentang visi pihak yang berkontestasi di Pemilu. Beragam pembicara diundang, tapi batasannya jelas, semua pembicara tidak terdaftar sebagai peserta Pemilu. Abdurrahman Wahid yang diundang saat itu bukan ketua PKB, dan tidak menyebut satu kalimat pun tentang PKB.

Jika kampus bisa melakukan seperti itu silakan. Tapi jika kampus dengan selimut kebebasan akademik mengundang peserta Pemilu untuk membesarkan kansnya untuk bisa terpilih, alih-alih menguji pemikiran kritis, maka kampus sedang terjebak pada labirin baru: menolak akal sehat dengan polusi narasi yang diciptakannya. Seperti dikatakan Otto von Bismarck, bahwa kampanye menjadi jalan kebohongan. Kalau pun ada kebenaran maka akan dijalankan dengan semangat perompak yang jahat.

 

Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikusaleh.

Dimuat pertama sekali di Kompas, 26 Oktober 2023.


Kirim Komentar