Teuku Kemal Fasya
Keputusan Presiden Prabowo melakukan efesiensi anggaran telah berdampak mendalam, termasuk di Kementerian Pendidikan Tinggi dan Saintek Republik Indonesia (Kemendiktisaintek R.I). Inpres No. 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 adalah pintu masuk yang menutup pos anggaran operasional dan kerja kementerian dan lembaga.
Kebijakan ini terlihat seperti pendarahan parah fiskal nasional. Kepanikan menjalankan program kampanye Makan Bergizi Gratis (MBG) dan proyek prestesius super holding Danantara yang memangkas APBN hingga Rp303 triliun, telah membuat kegiatan rutin tahunan mengalami oleng hantaman lautan Atlantis.
Kebijakan itu membuat banyak kementerian mengalami sesak nafas, termasuk Kemendiktisaintek. Berdasarkan Surat Edaran No. 4/2025 Kemendiktisaintek disebutkan bahwa konsekuensi Inpres No. 1/2025 adalah efesiensi “kementerian/lembaga sehingga perlu melakukan identifikasi rencana belanja yang meliputi belanja operasional dan non operasional dengan sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin” (kompas.com, 15 Februari 2025).
Kebijakan yang terlihat seolah-olah humanis ini memiliki gelagat pandir. Ide penghematan anggaran dan penyusutan energi pembangunan, dalam praksisnya terlihat sebagai politik kanibalisasi anggaran. Kata “efesiensi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “ketepatan menjalankan sesuatu hal tanpa membuang waktu, uang, dan tenaga” bermakna menyimpang saat ini. Ide normatif efesiensi tidak cukup tepat dalam referensi pemerintah. Karena yang dilakukan adalah memotong pohon-pohon besar operasional program pendidikan dan pasti menyebabkan kelumpuhan pada kualitas kinerja dan kultur lembaga.
Apa yang disebut sebagai efesiensi tidak merujuk pada detil-detil kegiatan, misalnya memotong anggaran perjalanan dinas, tapi menebang program kegiatan di dalam tridarma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dengan jelas Wakil Menteri Pendidikan Tinggi dan Saintek, Stella Christie, menyebutkan bahwa biaya perjalanan dinas di dalam riset sendiri pun dihapus. Logika penelitian kemudian berbicara, bagaimana penelitian bisa dilaksanakan ketika observasi dan wawancara informan pada penelitian lapangan tidak ada. Demikian pula untuk penelitian saintek, diperlukan uji laboratorium dan observasi lapangan, tapi malah dipotong. Bagaimana menuliskan sesuatu tanpa data empiris yang diamati?
Pembegalan anggaran
Secara praksis apa yang disebut sebagai efesiensi di dunia Kemendikbudsaintek adalah pembegalan dengan mengabaikan detil-detil anggaran. Disebutkan bahwa pemotongan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) hingga 50 persen, Rupiah Murni Operasional yang awalnya diblok 83,5 persen kemudian melunak menjadi 60 persen, Perjalanan Luar Negeri 100 persen, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) awalnya 44,5 persen akhirnya turun menjadi 30 persen.
Dampak efesiensi ini akhirnya bermuara pada kesejahteraan dosen dan tendik. Dosen yang sebelumnya telah melakukan rasionalisasi pengajaran, harus rela dibayar “murah”, karena pos anggaran untuk “kelebihan jam mengajar” (KJM) dari PNBP menjadi semakin kerontang.
Demikian pula BOPTN dan Rupiah Murni yang dipangkas secara tidak rasional itu menyebabkan kampus harus melakukan tangan besi penghematan untuk biaya listrik, internet, tenaga outsourcing untuk kebersihan dan keamanan. Yang telah terlihat di depan mata adalah ancaman PHK para pekerja yang selama ini menjaga kampus. Lebaran ini akan semakin banyak derai air mata karena orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat efesiensi tersebut. Yang menjadi kambing hitam dari seluruh kekacauan anggaran ini adalah para rektor, yang dianggap tidak berhati nurani, melakukan pemecatan di tengah resesi ekonomi parah seperti saat ini, dan tidak memprotes keras kepada Menteri.
Demikian pula, konsekuensi dari biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau SPP mahasiswa. Bagaimana pimpinan perguruan tinggi bisa membiayai operasional pengajaran secara murah ketika stok anggaran yang selama ini dimiliki tidak ada lagi? Contradictio in terminis! Desakan Darwinisme pasti akan terjadi. Hanya mahasiswa yang memiliki daya tahan UKT saja yang tetap bisa kuliah, sedangkan dari keluarga kurang mampu dan tidak mendapatkan kuota KIP Kuliah, pasti akan tersedot dalam cerobong kegagalan menjadi sarjana. Pernyataan pemerintah bahwa efesiensi di dunia pendidikan tinggi tidak akan berdampak kepada UKT hanya retorika berketiak luar. Tak pernah ada wujudnya!
Politik belah bambu
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Prabowo – Gibran ini bisa disebut sebagai bulan madu pahit bagi warga negara Indonesia. Pemangkasan anggaran secara ekstrem ini belum pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebelumnya. Bahkan di masa resesi ekonomi Soekarno pun, insentif untuk pengembangan pendidikan tetap diprioritaskan. Salah satunya karena hasrat untuk pendidikan karakter dan berwawasan nasional, serta menjauhi model kolonialisme pendidikan ala Jepang dan Belanda.
Kebijakan pembengalan anggaran Kemendiktisaintek sebesar Rp14,3 triliun (dan juga dialami Kementerian Dasar dan Menengah sebanyak Rp7,27 triliun) adalah malapetaka besar, bukan saja bagi para penyelenggara pendidikan tapi juga mutu pendidikan tinggi dan ekosistem pendidikan yang inovatif, kultural, dan humanis. Prabowo sendiri dalam beberapa kali pidatonya kerap berkomentar sinis pada model seminar dan diskusi, mengolok-olok kegiatan FGD dengan ungkapan pejoratif yang hanya menghamburkan anggaran.
Namun di sisi lain, untuk meredam keresahan di dunia pendidikan tinggi, isu pembayaran tunjangan kinerja (tukin) seperti diberikan sinyal hijau. Memang pemerintah sudah menganggarkan Rp2,5 triliun untuk pembayaran tunjangan kinerja kepada dosen dari PTN Satker atau PTN BLU yang belum memberlakukan renumerasi. Jumlahnya sebanyak 33 ribu dosen. Jika anggaran tersebut dibagi tanpa mengeluarkan biaya operasional, maka setiap dosen pada 2025 ini akan mendapatkan dana kumulatif Rp75 juta. Setelah dipotong dengan selisih dana sertifikasi dosen, maka, jatuhnya sekitar Rp2,5 – 3,2 juta perdosen untuk per bulan pembayaran.
Dunia dosen di lingkungan Kemendiktisaintek sendiri selama ini cukup riuh dengan ide tukin dosen ASN. Salah satunya karena wacana ini dianggap terlambat dibandingkan dosen ASN di lingkungan Kementerian Agama, misalnya.
Namun wacana ini sendiri juga bisa berarti pembonsaian suara kritis kampus atas kinerja dan ideologi pembangunan yang hiper-neoliberalistik seperti saat ini. Pembayaran tukin ini bisa menjadi “kontrak konspirasi senyap” bagi sang dosen untuk tidak membicarakan apapun terkait politik pembangunan delusional saat ini.
Terlihat tidak ada satu pun kampus yang bersuara pada model politik efesiensi yang semakin menyengsarakan rakyat dan membuat lesu roda perekonomian nasional itu. Seturut dengan itu beberapa wacana katastropik Prabowo seperti membuka lahan hutan untuk proyek ketahanan pangan yang selama ini terbukti gagal dan mengancam resiliensi lingkungan hidup, hanya diwacanakan oleh sekelompok peduli lingkungan dan aktivis masyarakat adat.
Demikian pula wacana pemotongan anggaran desa melalui model Koperasi Desa Merah Putih, tak lain adalah transformasi sublim militerisme di masa Orde Baru. Ini adalah langkah mundur ide otonomi desa sebagaimana diamanatkan di dalam UU No. 6/2014 tentang Desa yang kini telah berubah menjadi UU No. 3 tahun 2024.
Tentu kebuntuan model pembangunan pendidikan tinggi yang tak memiliki kerangka jelas seperti ini akan semakin mengancam ekosistem intelejensia, dan akan menghambat tumbuhnya iklim kritisisme di perguruan tinggi. Artinya agenda reformasi dengan menghidupkan demokrasi di segala lini kehidupan akan mengalami kepunahannya. El nino of democracy is coming!
Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Fisipol Universitas Malikussaleh.
Tulisan ini telah dimuat pertama kali di Serambi Indonesia, 19 Maret 2025