Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual di Pesantren

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya. Foto : Bustami Ibrahim

Teuku Kemal Fasya

 

Kamis, 7 Juli 2022, beberapa media televisi nasional melakukan siaran langsung breaking news tentang upaya penangkapan, Moch Subchi Azal Tzani (MSAT), anak pemimpin pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang.

Kisah penangkapannya seperti sebuah drama thriller. Setelah beberapa kali gagal, kisah pelaku cabul yang telah menjadi tersangka sejak 2019 itu berhasil di ditangkap oleh tim Polda Jawa Timur menjelang tengah malam.

 

Relasi kuasa

Apa yang bisa dibaca dari kasus MSAT ini membuktikan bagaimana relasi kuasa, baik dari posisi pesantren sebagai salah satu poros kekuasaan keagamaan di dalam masyarakat maupun relasi pimpinan/kiai dan santri begitu sempurna menguncup. Dalam perspektif Gramscian, relasi kuasa itu membentuk pengetahuan hegemonik yang kemudian menjadi politik budaya dominatif.

Posisi pesantren sendiri di dalam masyarakat seperti Jombang atau Jawa Timur secara umum sedemikian signifikan. Seperti diketahui, Jombang adalah salah satu lumbung pesantren di Jawa Timur. Sedikitnya ada 120 pesantren telah terdaftar di daerah leluhur Nahdlatul Ulama itu.

Memang posisi pesantren sebagai salah satu historical block di dalam masyarakat Jawa telah dicatat dalam konsep trikotomi antropolog Clifford Geertz (1960). Santri menurut Geertz berelasi secara interaktif dan konvergentif dengan struktur kuasa lainnya, yaitu priyayi. Di samping tentu saja kaum abangan yang paling lemah posisi politiknya. Dalam setiap momentum elektoral, para calon kepala daerah atau caleg kerap sowan ke para kiai untuk mencari restu sebelum bertarung secara demokratis para pileg atau pilkada.  

Secara politik, relasi kuasa pesantren Shiddiqqiyyah dengan aparat kepolisian sangat kontras. Kasus pemberkasan hukumnya telah P-21 sejak 2019, tapi tak kunjung bisa dieksekusi. Hingga tiga kali pergantian Kapolda Jawa Timur “kasus kecil” ini tidak berhasil dituntaskan. Kasus ini sendiri menunjukkan relasi sosial-politik yang antara pimpinan pesantren dengan kepolisian yang seharusnya independen, imparsial, dan tegak lurus dalam menangangi kasus hukum. Malah sebaliknya, memperlihatkan disfungsi peran pemolisian masyarakat. Aksi Polisi 7 Juli itu berhasil karena dukungan luas dari peliputan pelbagai media massa.

Struktur relasi yang dominatif selanjutnya adalah antara kiai dan santri. Hubungan ketaatan santri terhadap kiai, dan juga terhadap keturunannya yang disebut “gus” juga cukup besar. Para “gus” ini biasa memanggil para santri lebih tua langsung dengan nama. Meskipun “gus” memiliki pertalian genealogis dengan kiai, ia harus menunjukkan kedalaman ilmu dan dukungan kesalehannya secara sosial. Beberapa anak kiai yang memiliki “cacat”, tidak dipanggil “gus”, tapi “mas” seperti kasus MSAT.

Meskipun telah berada di era pendidikan modern dan konsep merdeka belajar sedemikian berkibar, tidak demikian di dunia pesantren. Para kiai dan pimpinan pesantren dianggap bukan semata guru agama, tetapi juga sumber spiritualitas dan standar moral.  Apa yang dikatakan kiai menjadi kebenaran yang perlu disikapi dan ditindaklanjuti.

Salah satu yang membuat penangkapan ini menjadi rumit adalah posisi orang tua MSAT, yaitu sang pemimpin pesantren, KH Muhammad Mukhtar yang menunjukkan pembangkangannya terhadap polisi. Ucapannya bahwa kasus ini adalah “fitnah terhadap anaknya” dan “harus diselesaikan secara kekeluargaan” telah diyakini oleh para santri, sehingga rela melawan termasuk kepada pihak kepolisian. Wacana sang kiai itu - dalam konsep Foucauldian - bertransformasi menjadi pengetahuan dan menggerakkan kekuasaan. Meskipun Kemenang telah mencabut izin pendidikan pesantren Shiddiqiyyah itu, hal itu juga tidak mudah bagi masyarakat meninggalkannya.

 

Fenomena gunung es

Apakah hal ini hanya bersifat kasuistik, terjadi di pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang? Dari pengetahuan empiris tentang “dunia kepesantrenan” kasus seperti ini juga terjadi di banyak tempat.

Hal itu bermula terkait dengan definisi dan posisi pesantren. Dengan hanya perlu mendapatkan izin dari kepala desa setiap komunitas atau yayasan bisa mendirikan pesantren(pasal 6 ayat (2) poin c UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren). Sebagai sebuah lembaga pendidikan agama berbasis komunitas, pendirian pesantren tidak dirancang seketat lembaga pendidikan lain, termasuk juga dalam melakukan akreditasi.

Kasus pemerkosaan belasan santriwati yang dilakukan Herry Wirawan di Bandung menunjukkan tentang fenomena gunung es kekerasan seksual di dunia pesantren dan rapuhnya pelembagaannya. Apa yang kita lihat hanya “efek tabrakan Titanic” di ruang publik. Banyak kasus pelecehan dan kekerasan di dunia pendidikan agama yang tidak terendus, karena adanya sikap tertutup dan konspirasi menjaga nama baik. Memang kasus Herry menjadi kemenangan bagi publik antikekerasan seksual terhadap perempuan, karena ia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung.

Namun jangan lupa, dengan konstruksi patriarkal lembaga-lembaga pendidikan agama, kasus kekerasan (seksual) mengalami normalisasi dan justifikasi. Hasil penelitian Dijk dan Kaptein (2016) menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan agama di Indonesia terjadi karena konstruksi pengetahuan yang masih timpang, terutama atas tubuh perempuan. Praktik formalisasi Syariat Islam di beberapa daerah, terutama di daerah santri melegalisasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Ketika muncul kasus seperti ini, perempuan dihadapkan pada status kesalehan sosial dan akhlak diam, tanpa “memberontak”.

Hasil penelitian penulis terhadap kondisi dayah atau pesantren dan santri perempuan di Aceh Utara yang kemudian diterbitkan dengan judul Kebenaran yang Pahit : Perempuan dan Masa Depan Pendidikan Dayah di Aceh (2018) juga menunjukkan sisi gelap yang ingin ditutupi itu. Aceh Utara yang dianggap salah satu lumbung dayah terbesar di Aceh menyimpan enigma, terutama terhadap pengelolaan dayah-dayah non-formal dan tradisional.

Riset bersama Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) dan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) itu berhasil mendokumentasikan tiga dayah yang terungkap melakukan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ketiga kasus itu memiliki arus yang seragam, yaitu adanya otoritas dayah yang kuat sehingga kasus-kasus yang dilaporkan oleh santri ke polisi tidak diteruskan, tekanan untuk menerima ganti rugi kepada perempuan korban, stigmatisasi keluarga dan korban sebagai bukan orang baik-baik, perlindungan dari aparat gampong agar tidak dipolisikan, hingga adanya Peraturan Bupati yang menyerukan penyelesaian secara kekeluargaan untuk kasus-kasus kekerasan di dayah. Artinya konstruksi kasus kekerasan seksual bermuara pada model alam pikir laki-laki yang patriarkal.

Semoga dengan disahkannya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kasus-kasus seperti yang terjadi di Jombang dan tempat lainnya di dunia pesantren tidak lagi berulang. Harus ada efek jera dengan menghukum para pelaku cabul dan penista tubuh perempuan itu tanpa takut tekanan.

 

Teuku Kemal Fasya, Antropolog Universitas Malikussaleh. Alumni pesantren modern proyek Kementerian Agama era Munawwir Sadzali, Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Banda Aceh, 1993.

Dimuat pertama kali di Kompas, 16 Juli 2022.

 

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar